Kamis, 28 Mei 2009

We Recruit Them, But Then What? The Educational and Psychological Experiences of Academically Talented Undergraduates

Ringkasan
Dengan aktif universitas bersaing untuk yang terbaik dan melakukan test kecerdasan muridnya, pendidik boleh heran tentang bakat alami mereka dan menantikan mereka di perguruan tinggi. Namun, penelitian di rencana dan penyajian peluang untuk kemampuan mahasiswa baru di institusi pendidikan tinggi masih terbatas, meninggalkan penyelidik ke pertanyaan apa universitas bekerja untuk mencerdaskan muridnya. Tujuan peninjauan ini adalah untuk memeriksa penelitian yang baru saja dilakuakan untuk bakat mahasiswa secara akademis, keduanya menjadi sifat dasar mahasiswa baru bagi diri mereka sendiri dan penyajian peluang untuk mereka di institusi public pendidikan yang lebih tinggi. Dibutuhkan tempat untuk penelitian tambahan sebagai bahan diskusi.
Institusi pendidikan tinggi terus meningkatkan usaha pengerahan mereka memusatkan di bakat muridnya secara akademis. Sebagai kompetisi untuk mendekatkan tempat duduk muridnya dan meningkatkan pendaftaran, trend itu diharapkan berlanjut setiap decade berikutnya (Gerald & Hussar, 2001), banyak perguruan tinggi dan universitas bergeser focus mereka untuk merekrut lebih banyak murid-murid yang berbakat. Muncul kebijaksanaan yang berlaku untuk itu, meskipun kemajuan intelektual untuk seluruh mahsiswa itu penting, sikap dan prestasi banyak membantu murid berbakat untuk meningkatkan atmosfer institusi akdemisi dan membedakan universitas dari institusi secara tajam.
Bagaimanapun juga, disamping motivasi menjadi prioritas rekrutmen ini, kenyataanya bahwa universitas negri dan swasta berkompetisi untuk pendaftaran murid yang berbakat. As Laycock (1984) mencatat, program bakat sering digunakan untuk mencari murid ke PT atau universitas programs (cf. prestigious, private universities, which are often
essentially universities for the academically advanced). Program seperti itu sebgai penghargaan universitas dengan publik, membedakan jurusan, program akselerasi, dan career counseling dibuat untuk meningkatkan pengalaman sarjana muda untuk murid . berbakat. Ini dua permintaan pertanyaan penting: apa kita tahu tentang program yang efektif dan penyediaan layanan untuk mahasiswa baru berbakat di PT dan universitas? Dan, mungkin lebih penting, apa kita tahu bakat diri mereka sebagai mahasiswa? Mahasiswa berbakat didefinisikan secara sama sebagai murid yang termasuk program beasiswa atau beasiswa universitas di tingkat universitas. Mengidentifikasi bakat tidak semudah hanya dilevelnya, identifikasi menjadi hal yang lebih kompleks di level universitas hanya penaksiran standard untuk membedakan. Ini, diidentifikasikan untuk program beasiswa PT yang akan dipercaya lebih besar di nilai tes kecerdaan mapel atau student’s Scholastic Aptitude Test (SAT) score atau nilai penaksiran ACT, high school grade-point average (GPA), keterlibatan si kegiatan ekstrakulikuler SMA dan komunitas sosial, dan mempunyai surat rekomendasi (Mathiasen, 1985). Keikutsertaan di acara penghargaan juga memberikan kepercayaan yang bisa diukur dengan identifikaasi diri sendiri, sebagai murid biasanya harus memiliki inisiatif dan mempergunakan izin untuk acara penghargaan. Kesulitan selanjutnya dalam mengidentifikasi proes, tidak semua murid diberikan hak, hasilnya jumlah murid PT berbakat di kampus PT regular. Tujuan penulisan ini, lebih dahulu kita mendiskusikan mahasiswa berbakat sebagai orang yang terlibat dalam acara penghargaan atau beasiswa, kecuali kalau ditetapkan sebaliknya.

Pengambilan penelitian ini untuk digunakan
Meskipun PT dan universitas tertarik di penerimaan murid bertalenta secara akademis, mengenai penelitian pendidikan dan psikologi murid di institusi pendidikan tinggi adalah jarang. Peneliti dan pengajar tidak mempunyai studi empiris yang digunakan untuk memelihara dan meningkatkan pengalaman yang ada bagi mahasiswa baru bertalenta secara akademis. Area yang dibutuhkan untuk menunjuk jumlah mahasiswa berbakat: pengaruh prakuliah, belajar, banyak kemapuan dan karir lainnya, karakteristik personal (terutama kontribusi atau halangan untuk menjadi sukses), khusus untuk mahasiswa bertalenta (e.g., women, minority students, students with learning disabilities), Program penghargaan/beasiswa, program masuk lebih awal, dan masalah konseling.

Publikasi program beasiswa untuk mahasiwa berbakat terutama dalam pemikiran dan deskripsi program penghargaan (e.g., Adams, 1990; Long, 1998), dengan sebagian besar tulisan ditujukan mengenai persoalan komunitas PT (Byrne, 1998; Heck, 1985; Outcalt, 1999). Sebagian buku mempunyai penulis mahasiswa berbakat secara akdemisi di pendidikan yang lebih tinggi, meskipun banyak dekade yang lama (e.g., Cohen, 1966; Shertzer, 1960). Untuk yang kurang terkenal, penelitian fokus di karir konseling untuk mahasiswa berbakat (e.g., Schroer & Dorn, 1986). Meskipun penyediaan publikasi ini dasar untuk meneliti mahasiswa berbakat, terutama fokus pada artikel di program individu di satu atau dua universitas. Lapangan adalah kekurangan dalam penelitian empiris yang kuat bahwa perjanjian dengan program penghargaan dan hubungan sosial di masyarakat atau perjanjian penelitian dengan kelompok untuk beberapa orang di universitas.

Hubungan penelitian
Decade penyedia layanan gambaran detail itu pengalama unik untuk bakat prakuliah dan murid bertalenta. Tentu saja, ribuan studi tampak lebih 50 th yang lalu untuk anak berbakat dan dewasa, luas yang yang kurang, orang dewasa yang bebakat, hasinya ketidak hadiran informasi orang bertalenta akedemis diantara PT tradisional untuk usia 17-22. penelitian mahasiswa berbakat, lebih banyak difokuskan kepada kelompok luar biasa, seperti orang yang masuk PT lebih awal (e.g., Brody, Assouline, & Stanley, 1990). Rata-rata mahasiswa baru bertalenta akademis relative tidak tahu literature.
Penelitian ketidak hadiran ini adalah kejutan yang diberikan hasilnya untuk penelitian murid baru. Bukti penyajian penelitian murid akademis tinggi dapat belajar dengan cara berbeda (e.g., Alexander, Carr, & Schwanenflugel, 1995) dan mempunyai sosial dan pengalaman emosi yang berbeda (e.g.,Hoge & Renzulli, 1993; Marsh, Chessor, Craven, & Roche, 1995) daripada penurunan talenta secara tajam. Penelitian ketidak hadiran mahasiswa berbakat juga sebuah kejutan yang diberikan, faktanya program untuk mahasiswa lanjutan dimulai baru-baru ini abad 19 disamping pendidikan K-12. level prakuliah, berjalan sekitar 1983, dan instruksi individual disusulkan lebiah awal tahun 1912. sekolah khusu untuk bakat juga diterapkan di waktu ini, termasuk the Cook County Normal School in 1883, the Horace Mann School in 1887, dan the Speyer School in 1899 (Subotnik, Kassan, Summers, & Wasser, 1993). Likewise, Harvard University mempunyai program spesial untuk mahasiswa muda 1873 (Hanford, 1931), dan the University of Michigan menyetujui program penghargaan, the University
System, in 1882 (Aydelotte, 1936). Program penghargaan Swarthmore College, diusulkan di 1922, poin awal untuk pendirian program penghargaan di pendidikan lebih tinggi (Aydelotte, 1925). Fakta ini disebutkan ke dalam pertanyaan penelitian yang kurang untuk murid berbakat pada waktu pengalaman kuliah, khususnya pendidikan bakat di postsecondary level mempunyai lama yang sama dengan pendidikan bakat di K–12 level.
Tujuan penulisan ini adalah menguals penelitian yang baru saja untuk mahasiswa baru yang bertalenta akademis di urutan sampai saran spesifik untuk tingkatan kualitas pengalaman PT dan area identifikasi dibutuhkan penelitian tambahan. Kita menyimpulkan dua bagia :
(a) menguji penelitian mahasiswa bertalenta dan (b) menganalisis penelitian dalam program spesial untuk murid. Sebagai sebutan awal, kita focus pada murid usia PT tradisional dan program institusi publik.

Mahasiswa baru bertalenta akdemis
Literature penelitian berisi dalam beberapa orang memiliki hubungan untuk mahasiswa bertalenta dan pengalamannya, termasuk faktor memilih PT atau universitas, pembelajaran, banyak kemampuan, karaktristik pribadi, sukses di PT, dan jumlah spesial untuk murid bertalenta. Sesi ini adalah pilihan karena jumlah literature yang ada. Topic lainnya dihubungkan ke mahasiswa baru bertalenta yang dapat ditunjuk, tetapi tidak cukup literature untuk diskusi yang lebih dalam.

Factor pilihan PT
Apa yang murid berbakat harapkan dari PT atau universitas adalah penting di dalam mempengaruhinya memutuskan untuk memilih bagian institusi. Murid berbakat boleh merasakan pendidikan tinggi yang berbeda daripada rata-rata murid dan mereka diharapkan dan dibuthkan. Meskipun penelitian di dalam harapan dan kebutuhan adalah jarang, informasi ini digunakan untuk administrasi pendidikan lebih tinggi di dalam mengajak murid bertalenta di institusi mereka. Ditambahkan, “ketika satu dampak pertimbangan untu pengalaman PT secara individu, itu membantu untuk tahu apa jenis pengalaman sebelumnya mereka membawa dengan mereka” (Clark, 2000, p.7). ini memperbolehkan pendidik untuk lebih baik dalam penyajian untuk murid berbakat di perguruan yang lebih tinggi.
Douglas and Powers (1985) menemukan emapt factor penting dalam memilih institusi perguruan lebih tinggi untuk murid berbakat yang berpartisipasi di dua program prakuliah untuknya di the University of Arizona: (a) kualitas akademis institusi (b) aspek social institusi; (c) pertimbangan financial; dan (d) keistimewaan institusi, seperti penekanan terhadap nilai dan apa tidaknya orang tua atau teman mengahdiri institusi. Ini saran akdemik yang paling penting untuk PT dan universitas. Sedang dan tinggi murid berbakat, di identifikasi seperti nilai mereka dalam ACT, juga mengharapkan kebebasan belajar dan penghargaan terhadap PR di lingkungan PT (Kerr &vColangelo, 1988), sejauh mendukung kepentingan akademis. McClung and Stevenson (1988) menemukan nila penghargaan mahasiswa dan pengalamannya bahwa keterlibatan kelas yang baik, kepaduan mahasiswa, sosial dan aktivitas kebudayaan, dan dukungan universitas secara signifikan (diartikan sebagai kepaduan keduanya diantara universitas itu sendiri dan penghargaan PT).
Mahasiswa berbakat juga diharapkan untuk sanga terlibat di ekstrakulikuler PT, khususnya di department klub dan dpesial grup yang menarik (German, 1995; Kerr & Colangelo, 1988). Secara bersama, be;ajar keduanya, akdemik (e.g., kualitas instruksi, kualitas dan ketersediaan program spesial) dan non akademik (e.g., fungsi soial, aktivitas ekstrakulikuler) faktornya adalah aspek penting untuk murid bertalenta diharapkan pengalaman PT lainnya. Bagaimanapun, tingkat pengharapannya berbeda untuk murid berbeda tingkat kemampuan tidak jelas di keberadaan penelitian, tentu saja, murid ini diharapkan muncul kemiripan ke daftar umum untuk kondisi murid yang cepat belajar (such as that proposed by Kuh, 1996). Bagaimanapun juga, fakta penyajian penelitian bahwa suasana akademisi untuk PT atau universitas sangat penting untuk meningkatkan bakat mahasiswa baru dan peluang untuk mengembangkan skil sosial sampai akdemik, usaha juga penting untuk murid ini.
Dengan menganggap keinginan utama, sebagian besar murid berbakat (diitenfikasikan dengan ACT scores) menghadapi pilihan untuk ilmu tehnik dan kesehatan utamanya sebagai mahasiswa baru, mahasiswa lebih sedikit memilih physician liberal. Faktanya, In
fact, Kerr and Colangelo (1988) menemukan bukti bahwa kemungkinan memilih tehnik sebagai pilihan utama dengan tingkatan kemampuan akademis. Sebagai hasilnya, banyak mahasiswa berbakat ke universitas besar yang kuat di matematika, tehnik, dan ilmu pengetahuan, ketika murid berbakat lebih sedikit memilih untuk mengikuti PT physician liberal. The Kerr dan Colangelo mempelajari penyelenggaraan dengan 76,951 SMP dan SMA untuk tingkatan bermacam-macam kemampuan bagi yang belum memilih PT atau universitas. Ini, diketahui bagaimana banyak murid benar-benar memilih universitas umum yang lebih besar lawan PT phisicyan liberal yang lebih kecil.

Pembelajaran
Murid berbakat muncul dengan harapan akademis yang spesifik dan pengalaman non akademik ketika mereka di PT, tetapi beberapa studi meneliti apakah murid ini mempunyai pengalaman akademis yang berbeda ketika tiba di PT. Dengan kata lain, disediakan informasi bagaimana mahasiswa belajar di PT.
Terkecuali Satu orang terkemuka adalah penelitian seminar William Perry di pengembangan intelektual Harvard dan seminal
research on the intellectual development of Harvard dan mahasiswa baru
Radcliffe.1. Perry (1968/1999) menyarankan mahasiswanya untuk bergerak sampai 4 hal, fase pengembangan yang overlap selama kuliah. 2. yang pertama adalah dualisme simple, selama mahasiswa berpendapat semua pertanyaan secara benar tanpa jawaban yang ambigu. Yang kedua adalah dualisme komplek, mahasiswa mengakui banyak pertanyaan mempunyai beberapa potensial jawaban. Mahasiswa di fase ini membandingkan perbedaan dan mengevaluasi posisi teori, yang mana sering membawa mereka ke frustasi dan kecenderungan bobot yang sama untuk semua perspektif. Ketiga, langkah kompleks dari relativism, murid menyadari bahwa semua perspektif tidak sama benar dan perspektif itu membutuhkan dukungan agar mempunyai kebenaran. Ke-empat dan tahap final, persetujuan yang mengikat di relativism, melibatkan perubahan sulit dipisahkan dari identitas pribadi murid. Antara lain, saat murid menerima nilai dari relativism agar memahami dunia di sekitar mereka, tanda bukti diri mereka bergantung pada kemauan mereka untuk bertindak atau berbuat untuk mempengaruhi dunia. Gallagher (1998) mendeskripsikan bagian akhir dari tahap terakhir ini sebagai langkah dialektis, dimana murid mampu untuk memandang satu masalah dari paradigma berbeda, bahkan kalau perlu penciptaan satu paradigma baru . skema dasae Perry telah didukung oleh penelitian
selama dasa warsa dengan murid pada beberapa institusi, meliputi beberapa institusi umum mewakili satu jangkauan luas dari taraf kemampuan. Ironisnya, Modelnya Perry telah berlaku bagi Pendidikan dengan murid berbakat sekunder (Gallagher, 1998), tapi aplikasi ke Pendidikan dari murid postsecondary berbakat jarang tampak pada literatur. Pada lapisan serupa, Astin (1985) juga sudah mengajukan satu teori berguna bagi mahasiswa perguruan tinnggi, dimana keterlibatanconceptualized sebagai derajat dari waktu dan daya yangdilakukan untuk dipelajari, adalah ramuan kunci untuk belajar dan membangun intelektual. Serupa dengan pekerjaan Perry, Teorinya Astin secara luas dikutip dan digunakan sebagai fondasi untuk banyak pembahasan dari mahasiswa$ perguruan tinggi (misalnya., Salib, Astin, Zimmerman Oster, & Burkhardt, 2001; Donald & Denison, 2001; Hu & Kuh, 2002), tetapi bukan terperinci ke pembahasan pmbelajaran antara ketinggian kemampuan mahasiswa perguruan tinggi.


Multipotentiality
Satu kali di perguruan tinggi, mahasiswa belum bergelar yang berbakat mempunyai banyak pilihan mengenai akhir alur karirnya. murid ini mungkin paling banyak cerita dari tahun mereka precollege tersebut, karena akibat giftedness mereka, mereka dapat melalakukan apapun yang mereka sukai dalam kaitannya dengan profesional dan aspirasi pribadi. Kesarjanaan pada giftedness sering difokuskan pada masalah yang disebabkan oleh “ multipotentiality” iniatau potensial mempunyai seseorang untuk membuat pengaruh kontribusi nyata pada dua atau lebih daerah. Seperti murid dengan jumlah bakat yang banyak dan daya tarik berawal mempertimbangkan penting bidang pendidikan, karier, dan keputusan pribadi, kemampuan mereka untuk melampaui di daerah dapat membawa ke bimbangan, kekurangan dari persetujuan yang mengikat, dan terkait masalah (Kerr, 1985, 1991; Rysiew, Pantai, & Leeb, 1999).
Bagaimanapun, beberapa pembahasan terbaru mempunyai pertanyaan apakah multipotentiality sungguh-sungguh berada antara bakat dan murid berbakat (Achter, Benbow,& Lubinski, 1997;Achter, Lubinski, & Benbow, 1996; Legree, Curi kecil-kecilan, & Grafton, 1996; Lubinski, Benbow, & Ryan, 1995; Milgram & Hong, 1999). Masing-masing pembahasan besar ini disediakan bukti empiris yang multipotentiality dengan alasan dikaruniai adalah yang terbaik, betul-betul ditekankan pada literatur. Robinson (1997) ringkasan literatur ini mencatat bahwa pembatasan metodologis pada pembahasan sebelumnya, terutama semata sebatas pengaruh di test, memelihara “ satu ilusi dari menyamakan potensial berlaku untuk semua orang ” (p. 217). Penemuan ini tampak mendukung renzulli (1978) anggapan perilaku yang berbakat akibat dari pekerjaan yang tercurah pada satu area dengan pertimbangan daya tarik pribadi (yaitu., menghasilkan di persetujuan tugas yang mengikat) dan internal-eksternal model kerangka acuan dari konsep pembangunan diri (Plucker & Bursa, 2001), diusulkan dari fakta bahwa murid dengan taraf tinggi dari prstasi di area tidak mempunyai correspondingly tinggi konsep diri dari kemampuan di masing-masing area sebesar itu.
Kedengkian dari penelitian ini, empiris terbaru dan intervensi pembelajaran yang lain didukung keberadaannya dari multipotentiality (Gagné, 1998; Kerr & Erb, 1991; Shute, 2000). Dan murid berbakat dan orang tua mereka percaya multipotentiality adalah satu masalah (Emmett & Kecil, 1993; Moon, Kelly, & Feldhusen, 1997). Multipotentiality dibentuk dari kepastian tentang mahasiswa belum bergelar yang dikhususkan mempunyai bahkan telah ditemukan untuk peningkatan taraf dari kemapuan akademis (Kerr & Colangelo, 1988).
emisi penting yang lain dihubungkan ke multipotentiality adalah keberadaan dari multitalents, atau murid berbakat itu dengan beberapa kemampuan taraf tinggi yang tidak perlu terkait ke akademis atau lapangan kerja (Gagné, Neveu, Simard, & Pere, 1996). Emisi metodologis pada kedua bidang pengumpulan pembahasan pertanyaan dari apakah satu sedang membandingkan apel dan jeruk. paling menyukai pembahasan, kontroversi ini adalah sering diskusikan kondisi hitam di atas putih ketika kenyataanya mungkin abu-abu: Banyak murid berbakat mungkin melakukan kemampuan untuk sukses di perkalian, bidang berbeda, tapi perbuatan nyata ini mungkin mencegah murid ini berkembang untuk
memajukan keterampilan dalam satu kedisiplinan.

Karakteristik kepribadian
Untuk menyediakan kebutuhan psikologis terbaik mereka, pendidik perlu mengetahui karakteristi kepribadian mereka. Mengetahui tentang murid ini dan siapa yang menyediakan pengertian yang mendalam untuk ide program lebih baik terutama pada dunia dengan ekstrakurikuler dan pengayaan. literatur adalah sangat ketinggalan jaman dengan pengaruh karakteristik kepribadian dengan berbakat murid perguruan tinggi. Pembahasan diterbitkan pada 1970s atau 1980s, dengan pekerjaan pnerbitan masa lalu 15 tahun. Cermin ini merupakan penyusutan penekanan pada pembelajaran kepribadian pada semua tingkat penelitian bidang pendidikan. Bagaimanapun, kalau dibenihkan dengan luas, profil dari mahasiswa berbakat secara akademis belum bergelar masih tersedia dan berharga.aktivitas. Terbatasnya literatur mendukung ide yang di situ adalah tidak ada kesendirian, khas, mengaruniai tinggi siswa perguruan (misalnya., Laycock, 1984), tidak ada anak atau anak remaja brbakat. Bagaimanapun, murid menghormati alumni dan murid tidak mnghormati yang telah diperlihatkan untuk membedakan sesuai dengan jenis kepribadian (Randall & Copeland, 1986; Randall, Salzwedel, Cribbs, & Sedlack, 1990). Anecdotally, Harte (1994)— dan banyak orang lain akan mungkin agree—purported bahwa menghormati murid menjadi pembahasan mereka lebih serius dan mempunyai keprihatinan lebih besar tentang susunan mereka dibandingkan murid yang tidak dihormati. Beberapa pembahasan telah disarankan bahwa murid paling di hormati alumni direncanakan mempunyai kebutuhan tinggi untuk berprestasi (misalnya., Hickson & Driskill, 1970; Mathiasen, 1985), sering pemanduan mereka ke arah paham tentang kesempurnaan (Laycock). Penghormatan mahasiswa prguruan tinggi dari universitas Alabama telah memperlihatkan banyak tingkat paham yang lebih tinggi tentang kesempurnaan dibandingkan mahasiswa perguruan tinggi reguler, tapi tidak diketahui kalau paham tentang kesempurnaan ini adalah tak sehat atau sehat merupakan bagian dari motivasi (Parker & Adkins, 1995). Meningkat level kompetisi dan menghadapi tantangan
perguruan tinggi coursework mungkin untuk membantu perkembangan dari karakteristik ini.
Murid berbakat perguruan tinggi, diartikan sebagai keahlian di satu perguruan tinggi dihormati, tidak ada penyesuaian dri dan bebas tak terikat (Capretta, Jones, Siegel, & Siegel, 1963; Mathiasen, 1985; Palmer & Wohl, 1972). Mereka cenderung lebih suka otonomi, nonauthoritarianism, dan faham atau aliran kebebasan (Gottsdanker, 1968). Secara akademis senior perguruan tinggi senior yang menjadi calon untuk Woodrow Wilson Foundation persahabatan tampak tinggi aktualisasi diri di keadaan yang meminta pengalaman kemandirian dan kesendirian (McClain & Andrews, 1972), dan menghormati partisipan perguruan tinggi yang telah ditemukan menjadi lebih introvert dibandingkan murid lain dari kemampuan rata-rata (Randall & Copeland, 1986). Murid perguruan tinggi berbakat, umumnya tampak lebih suka kemandirian dan kesendirian, yang memberikan mereka untuk mempelajari ke dalam diri mereka sendiri.
Banyak penelitian telah diselenggarakan pada perguruan tinggi melibatkan murid berbakat the Study of Mathematically Precocious Youth (SMPY; see George & Stanley, 1979), meliputi beberapa penelitian pada dimensi kepribadian. Ini mempelajari secara khas membandingkan karakteristik kepribadian dari mempercepat keremajaan (SMPY program students) untuk menyamakan kemampuan yang bukan dipercepat.Umumnya, SMPY murid dan nonaccelerated murid perguruan tinggi brbakat mmperlihatkan tidak ada perbedaan di lokus dari kontrol (Swiatek & Benbow, 1991). Kedua akselerasi dan nonaccelerates memperlihatkan taraf positif dari harga diri (Swiatek, 1993), walau cepat mengagumi nilai diri sendiri mungkin sedikit lebih rendah (Richardson & Benbow, 1990).
Pada satu survei murid perguruan tinggi terhormat, 12. 5% meyakini itu stereotyping negatif dari murid terhormat dan satu image penganut faham elit di Pendidikan terhormat adalah kerugian mengambil bagian pada satu perguruan tinggi terhormat (McClung & Stevenson, 1988). Walau cacat dari giftedness adalah sering debat literatur (misalnya., Salib, Coleman, & Stewart, 1993), murid perguruan tinggi berbakat tampak tidak terganggu oleh pemufakatan ini, seperti beberapa ditemukan tak suka menurut adat di pembahasan penelitian. Ini menggambarkan dengan emisi sinis, walau barangkali tidak membawa kepada pemufakatan pada murid berbakat, membolehkan lantaran satu keengganan untuk mengambil bagian dalam postsecondary Pendidikan bakat. Tentu, banyak waktu pembahasan ini menyarankan kebutuhan untuk replika dengan generasi hari ini dari mahasiswa belum bergelar.

Sukses di Perguruan Tinggi
Pendidik niscaya berkepentingan sukses secara akademis mahasiswa belum bergelar berbakat. Kalau institusi pendidikan tinggi institusi dengan aktif merekrut individu ini, keterangan pada peramal dari sukses mungkin berguna untuk memperoleh kejelasan perspektif bagaimana murid ini akan membiayai di perguruan tinggi.
Titik rata-rata sekolah menengah (GPA) dan terbakukan nilai ujian masuk, seperti itu Yang Mengenai Pelajaran Test keserasian (SAT), umumnya diyakini bersifat prediksi sukses di perguruan tinggi. Bagaimanapun, bukti penelitian adalah sebenarnya sangat bercampur. Prestasi sekolah menengah dari murid terhormat telah ditemukan paling penting meramal sukses di perguruan tinggi (Wittig, Schurr, & Ruble, 1986). Sementara SAT Matematik membuat skore ramalan sukses di perguruan tinggi untuk perempuan berbakat, keseluruhan SAT-vrbal dan nilai Matematik ditemukan untuk meramalkan sukses perguruan tinggi minimally (McDonald & Gawkoski, 1979). Satu hubungan positif yang rendah ditemukan di antara keserasian akadmis dan pemenuhan sbelumnya (Baird, 1985).Dewan pengurus Perguruan Tinggi dan Bidang Test Pendidikan Melayani tunjangan satu berpengaruh korelasi yang nyata di antara perguruan tinggi dan keduanya nilai sekolah menengah susun dan nilai SAT (Willingham, Lewis, Morgan, & Ramist, 1990). Pada sisi lain, penelitian juga menyarankan bahwaprestasi akademis mempunyai sedikit andil untuk sukses atau prestasi berikutnya dalam hidup. Antara lain, Hoyt (1966)
dipertunjukkan dewasa itu pemenuhan punya sedikit korelasi dengan prestasi akademis di sekolah. Taylor, Albo, Holland, dan Brandt (1985) menemukan hasil serupa, menyarankan menyusun dan nilai test baku adalah prediksi lemah untuk profesional sukses. Di salah satu kemungkinan perkembangan belajar pada Pendidikan berbakat, Terman dan Oden (1959) tidak menemukan korelasi di antara prestasi kejuruan dan kemampuan intelektual pada orang-orang berbakat. Dan, walau mereka memiliki kecerdasan tes umum bersifat prediksi dengan prestasi tinggi, mereka yang tidak dapat memprediksi arah dari prestasi dan menyimpulkan bahwa prestasi disebut memiliki inteligensi tinggi.
Beberapa ukuran nonacademic mungkin bersifat prediksi dari sukses di perguruan tinggi untuk murid berbakat. Antara lain, House (1995) menyediakan bukti sikap itu, akademis termasuk konsep diri, meramalkan prestasi murid berbakat di kalkulasi perguruan tinggi. Demikian juga, Shaughnessy, Semprotan, Moore, dan Siegel (1995) menemukan tiga factors—privateness kepribadian (serupa dengan introversion), inteligen, dan emosional stability—to bersifat menandakan dari sukses di kalkulasi perguruan tinggi. Wittig et al. (1986) menemukan faktor kepribadian, seperti itu introversion, yang sebagaimana pentingnya persiapan akademis diramalkan sukses di perguruan tinggi. Dengan cara yang sama, murid idaman sukses, GPA idaman, dan diramalkan sejumlah upaya mereka akan menghabiskan akademis di perguruan tinggi yang telah ditemukan yang bersifat prediksi dari GPA perguruan tinggi (Platt, 1988).

Populasi istimewa
Upaya yang berpengaruh nyata difokuskan pada penelitian yang melibatkan populasi istimewa murid berbakat perguruan tinggi secara akademis, meliputi pengalaman murid dengan kecacatan belajar dan perempuan.
Cacat belajar. Seringkali,intelektual yang kurang dan kecacatan belajar mungkin saling merahasiakan satu sama lain, pembuatan identifikasi dari kemampuan dan penyandang cacat (Ferri, Gregg, & Heggoy, 1997; Ulang adalah, McGuire, & Neu, 2000). Kedua bakat intelektual dan cacat belajar mungkin tak ketahuan ke dalam karir akademisnya, setelah lama mereka telah mengembangkan suatu kebutuhan untuk jasa khusus yang berhubungan terhadap keduanya. Pertentangan ini sehubungan dengan variabilitas di nilai kognitif tes kecerdasan. Dengan kata lain, murid berbakat dengan satu cacat belajar mungkin menunjukkan satu pertentangan di antara lisan mereka dan nilai kinerja pada ukuran penilaian. Murid berbakat dengan cacat belajar cenderung mempunyai nilai lebih tinggi secara lisan dibandingkan murid yang tak berbakat dengan cacat belajar (Ferri et al.).
Penelitian mengindikasikan murid perguruan tinggi dengan cacat belajar, melalui dokter yang bekerja klinik mengidentifikasi penilaian pada satu kampus universitas, lebih mungkin diidentifikasi untuk pertama kali seperti mempunyai satu cacat belajar selama perguruan tinggi, daripada dibandingkan pada awal karier akademis mereka (Ferri et al., 1997). Sebagai tambahan, perempuan berbakat dengan cacat belajar mungkin diidentifikasi kemudian dibandingkan laki-laki berbakat dengan cacat belajar (Ferri et al.). Dengan demikian, murid perguruan tinggi dengan cacat belajar dan kemampuan taraf tinggi,terutama perempuan, kelihatannya mereka dapat menggeluti Pendidikan prakuliah dan bahkan dalam Pendidikan perguruan tinggi mereka tak banyak bantuan akademis.
Sepanjang jalur yang sama, satu murid berbakat dengan satu penyandang cacat, diidentifikasi melalui satu diagnosis dokter klinik dari kecacatan belajar dan beberapa ukuran ketidakbakatan (misalnya., IQ atau nilai tes prestasi), tidak mungkin menemukannya atau strategi ganti-rugi terbaiknya hingga perguruan tinggi (Reis et al., 2000). Strategi ganti-rugi adalah satu keperluan untuk murid perguruan tinggi berbakat dengan kecacatan belajar, seperti mereka diijinkan belajar dengan tenang (Real et al.). Dengan demikian, murid berbakat dengan cacat belajar boleh memerlukan bantuan ketika mereka memasuki perguruan tinggi, dan mereka tidak boleh menemukan strategi ganti-rugi bersifat membangun untuk membantu belajar mereka pada saat mereka memulai menjadi mahasiswa baru.
Genus. Literatur tubuh telah dikembangkan sejak lalu 15 tahun ada pengalaman pendidikan prakuliah yang berbeda, putera dan puteri dengann kemampuan berbakat (misalnya., Evans, 1996; Kerr, 1994; Reis, 1995, 1998; Reis & Callahan, 1989; Robinson, 1997). Penelitian masalah genus antara murid perguruan tinggi kurang lazim, tetapi beberapa pegangan pembahasan implikasi penting untuk pendidikan tinggi. Antara lain, para laki-laki dan perempuan mendaftarkan pada satu program perguruan tinggi terhormat adalah didirikan untuk harapan berbeda dengan menghormati pengalaman perguruan tinggi (Noldon & Sedlacek, 1998). Laki-laki diharapkan untuk mengetahui anggota fakultas dan menemukan mentor lebih dari perempuan, dan perempuan diharapkan untuk lebih banyak mengikuti komunitas layanan di perguruan tinggi dibandingkan laki-laki. Walau berbakat, gadis remaja ditemukan kurang tradisional di aspirasi karier mereka dibandingkan rata-rata rekan pendamping perempuan lainnya, seperti halnya liberal lebih ke arah peran perempuan harus bermain dalam hidup, dan laki-laki berlangsung menjadi lebih yakin pada pilihan mereka dengan utama, karier, dan masa depan mereka dibandingkan dengan perempuan (Gottsdanker, 1968; Mendez, 2000). Perempuan berlangsung menghadapi rintangan seperti kesulitan menjadi terbuka tentang kemampuan mereka dan panutan mereka dan sikap ragu-ragu keluarga terhadap kemampuan mereka (Mulia, 1987).
Perempuan terlihat seperti mengejar nilai kelulusan lebih besar dibandingkan di masa lalu (Hulbert & Schuster, 1993), tapi mungkin kemudian mereka mengejar dalam hidup dibandingkan pendamping laki-laki (Malaney & Isaac, 1988). Bahwasanya, perempuan berbakat adalah orang-orang yang kurang berbakat daripada laki-laki yang mempunyai rencana pendidikan secara langsung kurang seperti lulussekolah atau sekolah medis, mungkin sebab itu laki-laki lebih berbakat menghadapi masalah karier dan sekeluarga (Schroer & Dorn, 1986). Di pembahasan bujurnya dari valedictorians sekolah menengah, Arnold (1995) menemukan perempuan itu mungkin sebenarnya aspirasi karier mereka menurun karena mereka mengharapkan kesulitan alami digabung dalam karier dan sekeluarga. Bahwasanya, banyak perempuan ditemukan meninggalkan jurusan didominasi yang laki-laki, tidak karena akibat kesulitan akademis, tapi karena akibat antisipasi dari keibuan perdagangan berjangka. Dan masalah keluarga dapat sulit untuk perempuan berbakat, seperti perempuan ini sering melakukan parenting dengan intensitas hebat dan kepekaan dan mengasumsikan satu andil yang tidak sebanding dari keluarga (Prober, 1999; Ulang adalah, 1998).
Banyak penemuan ini mungkin berhubungan ke perbedaanperlakuan perempuan pendidikan tinggi, dengan tanpa melihat dari taraf kemampuan. Reis adalah (2001) baru-baru ini mencatat genus itu diskriminasi pada taraf perguruan tinggi adalah serupa dengan yang diamati di Pendidikan K–12: Perempuan diminta lebih sedikit dan kurang pertanyaan rumit oleh guru dibandingkan dengan laki-laki panutan mereka dan di situ sering akal dan tipu muslihat dan seksual, diantara pengalaman lain. Hall dan Sandler (1982) diidentifikasi 30 perilaku kerumitan itu diciptakan halangan pembangunan intelektual dan emosional dari perempuan di duniapendidikan tinggi, meliputi mencoba di humor, menanggapi tentang penampilan phisik, dan kekurangan dari interaksi keduanya di dalam dan di luar kelas. Walau tubuh ini dari penelitian melukiskan gambar, pembaca harus mencatat bahwa beberapa pembahasan ini belum terperinci melihat kepada pengalaman dengan murid perguruan tinggi berbakat, dimana pola diamati dari pengucapan.

Untuk mhasiswa berbakat
Literatur juga mengandung pembahasan pada karakteristik dan efektivitas dari program terperinci yang didisain untuk murid perguruan tinggi yang cemerlang, meliputi perguruan tinggi terhormat, awal program, penasehat karier, dan pribadi konsul.


Hormati Perguruan Tinggi
Program beasiswa berada diantara beberapa universitas dari perguruan tinggi terhormat. Sedikit statistik tersedia hubungan murid atau universitas yang mempunyai perguruan tinggi terhormat (Robinson, 1997), sebagai paling fokus penelitian pada program perorangan. Alumni Nasional Hormati Dewan terbit Peterson’s Honors Programs: The OfficialGuide of the National Collegiate Honors Council (Digby, 1999), yang ringkas menguraikan secara singkat komponen inti dari lebih dari 600 perguruan tinggi terhormat pada Amerika Serikat, namun tidak ada perbandingan atau evaluasi dibuat di antara program. Freyman (1998) dan German (1995) mendeskripsikan karakteristik dari individu perguruan tinggi terhormat diantara universitas umum dan beberapa karakteristik dari murid yang dilibatkan di program itu. Umumnya, perguruan tinggi paling terhormat menyediakan kelas lebih kecil dan perhatian lagi dan kontak dari fakultas dibandingkan satu murid berbakat akan mendapatkan universitas regular (Fischer, 1996). Berada di dalam satu perguruan tertinggi hormat biasanya juga termasuk asrama istimewa dan alam lingkungan belajar, seperti ruang bersantai (Noldon & Sedlacek, 1998).
Penghormatan perguruan tinggi terlihat seperti peralatan akademis dan pembangunan sosial dengan murid perguruan tinggi berbakat (German, 1995; Noldon & Sedlacek, 1998). Penelitian memperlihatkan tersebut, setelah 1 tahun, hormati freshmen yang punya tingkat yang lebih tinggi titik susunan tahun plonco merata-ratakan dibandingkan satu padanan perbandingan menggolongkan dan tinggi siswa perguruan nonhonors lain (Pflaum, Pascarella, & Duby, 1985). Murid menemukan keuntungan paling besar untuk mendaftarkan pada satu perguruan tinggi terhormat menantang dan kelas unik alami, kelas kecil ukuran, dan akademis umum lingkungan (McClung & Stevenson, 1988). Pendaftaran pada satu program terormat juga dihubungkan dengan diri perkembangan positif terkabar pada kritis pemikiran (Tsui, 1999).

Awal Masuk

Orang tua dan pendidik umumnya menganggap bahwa siswa yang masuk perguruan tinggi lebih cepat akan gagal secara akademis dan tidak dapat menyesuaikan, baik sosial dan emosional. Mereka menganggap bahwa masuk di usia muda, sering dikaitkan dengan
ketidakdewasaan, akan menghambat keberhasilan akademik dan sosial di sekolah. Kenyataannya, penelitian telah menunjukkan bahwa masuk lebih cepat umumnya berhasil secara akademis (Brody dkk., 1990; Janos, Robinson, & Lunneborg, 1989; Olszewski - Kubilius, 1995; Swiatek & Benbow, 1991) dan pada umumnya dapat menyesuaikan dengan baik, baik emosi dan sosial (Cornell, Callahan, & Loyd, 1991; Janos et al.). Bahkan di salah satu pertama-awal masuk dalam percobaan yang dilakukan negara olehFord Foundation yang dimulai pada 1951 (Dana untuk Kemajuan Pendidikan, 1957), pelajar yang ditemukan mencapai rata-rata yang lebih tinggi daripada rekan-rekannya yang lebih tua dan merasa bahwa program tersebut meningkatkan pembangunan sosial dan emosional mereka. SMPY dalam penelitian, secara cepat melaporkan tinggi diri dan umumnya belum ada kesulitan sosial atau emosi(Benbow & Richardson, 1990). Kegagalan awal masuk pasti ada, tapi sastra menunjukkan bahwa siswa tersebut berada di minoritas. Alasan yang paling umum untuk memutuskan masuk perguruan tinggi lebih awal adalah keinginan yang kuat untuk akademik tantangan dari satu dapat diterima dilembaga pendidikan sebelumnya (Drummond & Noble, 1992). Sekolah tinggi sering tidak mampu menawarkan siswa berbakat secara akademik stimulasi yang mereka butuhkan untuk berkembang intelektual. Paling awal masuk yang senang dengan keputusan mereka untuk masuk ke perguruan awal dan dapat menemukan tantangan yang mereka butuhkan (Noble & Drummond; Olszewski-Kubilius, 1995), meskipun dalam peninjauan kembali, beberapa siswa akan memiliki pilihan untuk kurang mempercepat(Noble,Robinson, & Gunderson, 1993). Awal masuk-program yang memberikan transisi tahun tampak ada siswa yang paling berhasil, dan siswa yang masuknya paling muda, yang lebih penting transisi tahun menjadi (Olszewski-Kubilius, 1995). Yang besar Tingkat lanjut Penempatan jumlah kredit (Brody dkk., 1990), baik belajar keterampilan, waktu yang baik pada keterampilan manajemen (Schumacker, Sayler, & Bembry, 1995), motivasi tinggi, lanjutan prestasi, dan konsep diri yang baik (Sisk, 1988) telah diidentifikasi sebagai prediksi keberhasilan dalam program awal masuk.

Konseling Karir

Sebagaimana dicatat sebelumnya, sebagian besar literatur yang tersedia menyangkut program akademis kampus berbakat melibatkan siswa penelitian di karir dan konseling kejuruan. Banyak dari studi ini melibatkan evaluasi program tertentu (lihat Schroer & Dorn, 1986). Meskipun sastra lebih kuat di bidang konseling karir dibandingkan beberapa daerah lain yang terkait dengan mahasiswa berbakat, dan walaupun berbakat mahasiswa diketahui memiliki karir perencanaan kebutuhan yang unik, seperti pilihan pekerjaan yang terbatas, keraguan, identitas formasi kejuruan, kekurangan pekerjaan yang berarti, pilihan pekerjaan awal, tekanan dari orang lain yang signifikan, dan kebutuhan akan pekerjaan model panutan (Stewart, 1999), biasanya konseling karir membantu siswa berbakat dengan cara yang sama seperti yang mereka lakukan pada kebanyakan siswa (pembungkus & Berry, 1986). Beberapa membantu karena biasanya ditemukan akan lebih baik daripada tidak bantuan sama sekali, mahasiswa berbakat sering menunjukkan minat yang terkuat pada konseling karir(Kerr & Colangelo, 1988) dan telah menunjukkan manfaat dari itu(Schroer & Dorn, 1986). Secara khusus, mahasiswa berbakat lebih terstruktur konseling karir dan jenis kelompok yang sama (Kerr, 1986). Sebagai multipotentiality mungkin akan menjadi masalah bagi beberapa mahasiswa berbakat, karir dan kejuruan konseling dapat bermanfaat dalam pengembangan tujuan dan identitas di dalam masalah siswayang beranekaragam(Kerr & Erb, 1991).

Konseling Pribadi

Mahasiswa berbakat harus tidak hanya menghadapi masalah-masalah umum untuk semua mahasiswa, seperti pulang ke rumah dan meningkatkan kemandirian, tetapi mereka juga harus menguasai menyangkut masalah-masalah yang berbakat, seperti kesempurnaan dan takut akan kegagalan (Ford, Webb, & Sandidge, 1994) dan kesukaan pada diri sendiri yang kacau(Glickauf-Hughes, Wells, & Genirberg, 1987). Banyak perguruan tinggi menawarkan konseling pribadi bagi siswa, seringkali melalui pusat kesehatan universita, tetapi mereka jarang menawarkan layanan konseling pribadi khususnya untuk siswa mereka yang berbakat. Bahkan, Myers dan Pace (seperti dikutip di Ford & Harris, 1995) ditemukan pada tahun 1986 bahwa hanya dua perguruan tinggi di Amerika Serikat yang menyediakan konseling pribadi khusus untuk siswa berbakat. Delapan belas tahun kemudian, satu pertanyaan apakah ini akan memiliki nomor berubah atau tetap sama, tetapi sastra tidak memberikan wawasan yang sama. Sedikit usaha sedang dibuat untuk bekerja dengan siswa berbakat dalam scenario konseling pribadi (Schroer & Dorn, 1986), meskipun ada beberapa peneliti menekankan pentingnya pribadi atau kelompok konseling berbakat akademis untuk mahasiswa di penyesuaian kehidupan universitas (misalnya, Ford & Harris, 1995; Schroer & Dorn, 1986), terutama bagi perempuan (Noble, 1987) dan para siswa yang secara ekonomis mungkin generasi pertama mahasiswa (Olszewski - Kubilius & Scott, 1992). Masalah nyatanya adalah bahwa konselor universitas secara umum tidak terlatih untuk bekerja dengan siswa yang sangat berbakat. Misalnya, dan Ford Harris menemukan bahwa mayoritas Konselor sampel di sekolah mereka tidak pernah menerima pelatihan dalam bekerja dengan siswa sangat berbakat, dengan lebih dari 89% dari 80 konselor yang tidak pelatihan spesifik yang unik konseling kebutuhan siswa berbakat akademis. Konselor yang sama juga percaya untuk memberikan pelayanan yang sama dengan yang berbakat, walaupun mereka ragu-ragu mengenai isu-isu psikologis yang mungkin dihadapi siswa berbakat dan mereka tidak setuju bahwa siswa berbakat mungkin memiliki masalah sosial karena bakatnya. Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa berbakat harus mencari pengobatan dan pembelaan untuk kebutuhan mereka yang unik sekali melakukan perawatan ini. Konseling pribadi untuk berbakat tampaknya tidak kuat dalam lingkungan universitas.
Kesimpulan
Kita mulai mengulang ini dengan keinginan untuk menentukan sejauh mana perkembangan tren dengan muda berbakat gambaran siswa dalam pengalaman tua mahasiswa. Meskipun kekurangan penelitian membuat perbandingan langsung sulit, beberapa praktek dan empiris implikasi muncul dari sastra. Mulai sekolah pada akhir masa remaja dapat membawanya dengan penyesuaian masalah yang ada dengan mahasiswa yang rentan, meskipun dia tidak berbakat. Menghadapi masalah ini termasuk pulang ke rumah (Brown & Christiansen, 1990; Guinagh, 1992; Pancer & Hunsberger, 2000); peningkatan rasa kemerdekaan dan tanggung jawab (Santrock, 1998), dan pemisahan secara umum, transisi, dan inkorporasi terlibat dalam penyesuaian perguruan tinggi dengan budaya (Buchanan,1993). Mahluk hidup berbakat memiliki potensi untuk mempertajam masalah ini, sejak banyak akademisi berbakat siswa merasa nyaman dengan, dan mungkin tergantung, dan strategi dukungan jaringan mereka yang telah diizinkan untuk mencapai keberhasilan pendidikan (Hannell,1991; Hillyer, 1988; Willings, 1985). Menghapus dukungan ini dan menghadapi meningkatnya persaingan (misalnya, The Big-Ikan Little Pond Efek; Marsh et al., 1995) dapat mengakibatkan permasalahan yang unik yang sebagian besar tidak pernah ditemui dibawah pendidikan. Ini adalah salah satu alasan mengapa Nasional Alumni Honors Council (1994) merekomendasikan sepenuhnya program harus memberikan pujian khusus siswa akademik konseling yang unik dari konseling karir untuk sisa universitas. Mahasiswa berbakat menunjukkan ketertarikan yang kuat dalam konseling karier dan juga telah menunjukkan keuntungan dari konseling karir, tetapi biasanya ini dilakukan sedikit untuk membantu siswa dengan cara yang terkait dengan masalah tingkat kemampuan mereka. Perguruan tinggi yang menyediakan konseling karir khusus siswa berbakat perlu dievaluasi agar perguruan tinggi lainnya dan konselor dan praktik terbaik untuk belajar dan mencontoh dari mereka. Pelatihan pendidikan berbakat juga dapat membantu konselor yang ingin memberikan layanan untuk siswa sekolah berbakat. Tentang penerimaan dan identifikasi masalah, kepribadian yang tidak dimengerti dan karakteristik muncul lebih penting dalam prediksi keberhasilan di perguruan tinggi selain melakukan SAT nilai dan GPA, menurut literatur ini diperiksa. Namun, penerimaan ke universitas dan masuk program khusus sebagian besar didasarkan pada tujuan data, seperti yang diberikan oleh nilai-nilai dan standar pencapaian tes. Seperti kebanyakan program, sebuah program menghormati keinginan siswa untuk melakukan yang baik dan kontribusi untuk program dan universitas secara keseluruhan. Dengan demikian, akan muncul pujian sesuai untuk program termasuk besar kesadaran penilaian mereka diperlukan dalam penerimaan bahan. Penelitian harus ditujukan untuk mencari atau mengembangkan kesadaran penilaian seperti itu dalam rangka memberikan lebih baik untuk kesejahteraan siswa berbakat untuk menerapkan kehormatan dan untuk memastikan penempatan yang sesuai.
Direksi Pengembangan Mutu
Dalam melakukan penelitian ini, kami terkejut atas kekurangan topic pada penelitian. Pendidik tidak cukup tahu banyak tentang mahasiswa berbakat seperti yang mereka lakukan tentang anak berbakat atau bahkan orang dewasa berbakat, sehingga membuka berbagai kesempatan penelitian. Memang, daftar daerah terkait yang telah menerima sedikit perhatian dari pendidikan peneliti di tingkat dasar (namun ada menerima perhatian dari peneliti tertarik awal pendidikan) akan panjang. Daripada yang mengulang daerah penelitian yang dibahas sebelumnya dalam makalah ini, di bagian ini, kami mengidentifikasi daerah-daerah yang lebih luas dari topik yang perlu dari perhatian.

Pengembangan Kemampuan Pendidikan Siswa

Selain dari pengalaman lucu, dan peneliti, pendidik relatif menyadarinya dari pengalaman mahasiswa berbakat dalam program khusus, baik selama dan setelah pengalaman sarjana mereka. Sekolah berbakat menghadapkan siswa kepada berbagai program pilihan mereka selama tahun-tahun sekolah, termasuk spesifik pujian program, universitas dan organisasi klub, dinding olahraga, dan lain-lain. Beberapa penelitian yang ada di tingkat sarjana muda merencanakan dan pengalaman siswa berbakat (misalnya, Arnold, 1993; Malaney & Ishak, 1988) dan secara khusus pada awal masuk(e.g., Stanley, 1985; Stanley & Benbow, 1983), namun banyak penelitian ini menjadi bukan tanggal. Peneliti tidak tahu bagaimana pemrograman, apakah tanda-tanda jasa yang dirancang untuk siswa atau tidak, adalah pujian yang diterima oleh siswa dan bagaimana program ini mempengaruhi pembangunan siswa. Sebagai contoh, penelitian telah menunjukkan bahwa siswa memperoleh manfaat dari partisipasi dalam pujian pemrograman (misalnya, McClung & Stevenson, 1988), tetapi bagaimana atau mengapa mereka tidak mendapatkan manfaat yang dipahami sepenuhnya. Informasi tentang perkembangan bakat minoritas dan mahasiswa internasional sangat sulit untuk ditemukan, walaupun pentingnya jenis penelitian ini untuk dicatat(Arnold, 1993, 1995). Banyak penelitian harus normatif yang bertujuan untuk pengembangan akademis mahasiswa berbakat dan bagaimana program dapat membantu mereka dalam akademik, sosial, dan pertumbuhan emosional.

Isolasi vs Integrasi

Mahasiswa berbakat yang berpartisipasi dalam program pujian biasanya disediakan terpisah dengan aturan perumahan dan lingkungan belajar, seperti daerah belajar dan lounge (Noldon & Sedlacek, 1998). Bagaimana ini pemisahan dari lingkungan universitas umum mempengaruhi siswa berbakat tidak dapat belajar secara menyeluruh. Sebagai contoh, karena pemisahan, ada label efek kehormatan bagi siswa dalam program? Apakah siswa berbakat dapat menerima manfaat dari pemisahan ini? Kelanjutan sosial dari pemisahan dari mahasiswa dapat bermanfaat atau berbahaya baik untuk siswa berbakat, sebagai siswa berbakat mungkin memiliki potensi untuk menjadi teman hanya dengan siswa berbakat lain jika ini adalah satu-satunya orang yang mereka kenal secara rutin. Di sisi lain, walaupun pandangan dari berbakat mungkin diikuti siswa perguruan tinggi, siswa berbakat mungkin mulai melihat ini sebagai pandangan label yang positif karena sebelumnya mereka berhubungan dengan perguruan tinggi dalam karir. Intelijen dan prestasi mungkin tidak akan dianggap negatif, karena sering berada di tengah atau sekolah tinggi, sehingga memungkinkan siswa berbakat untuk berteman dengan siswa tidak berbakat. Sayangnya, penelitian, saat ini tidak memberikan informasi tentang salah satu pertanyaan atau kemungkinan.
Efektivitas Pemrograman
Kami sangat terkejut atas kurang dipublikasikan evaluasi berbagai bentuk program sekolah untuk siswa cerah. Banyak artikel dan buku-buku yang ada hanya menjelaskan program-program khusus atau laporan tentang evaluasi salah satu program (dan sering hanya satu segi program yang sempit). Walaupun informasi ini dapat membantu pendidik, yang lebih komprehensif berdasarkan informasi tentang program yang berbeda, seperti studi yang membandingkan dan program berbeda, dan akan memberikan pendidik dan administrator untuk bekerja dengan lebih banyak. Hanya sebagai informasi pada model kurikuler, kegiatan ekstrakurikuler, program konseling dan mentoring, dan sebagainya ada tentang dasar pendidikan siswa berbakat, maka harus ada informasi berkenaan dengan perguruan tinggi tentang pembelajaran berbakat.

Isu Administrasi

Dampak kelebihan berbasis beasiswa dan bantuan keuangan yang sering digunakan untuk menarik siswa berbakat untuk lembaga-lembaga tertentu juga kejelasan hilang dari sastra. Banyak siswa berbakat diberikan beasiswa sebagian atau penuh untuk masuk dalam program perguruan tinggi, namun para peneliti dan pendidik yang relatif menyadarinya dari efek dari uang yang pada siswa pendidikan tinggi ini. Misalnya, siswa berbakat yang diberikan beasiswa memiliki ingatan yang lebih baik dan tingkat kelulusan lebih tinggi dari siswa berbakat tanpa beasiswa? Apakah siswa berbakat dengan beasiswa mencapai tingkat yang lebih tinggi daripada siswa yang lain? Banyak beasiswa diberikan berdasarkan prestasi akademik, tetapi seperti yang kita dicatat sebelumnya, prestasi akademik tinggi di sekolah tidak menjamin kesuksesan di perguruan tinggi atau nanti dalam kehidupan. Penelitian tentang pendidikan sekolah berbakat membutuhkan untuk meneliti masalah ini secara lebih mendalam dalam memungkinkan untuk memaksimalkan manfaat dari beasiswa yang diberikan setiap tahun.
Pendidikan peneliti sangat sedikit tahu tentang karakteristik fakultas dan staf yang terlibat dengan Program sarjana untuk siswa berbakat (Shepherd & Shepherd, 1996). Informasi ini akan sangat berharga mengingat fakta bahwa fakultas dan staf mungkin bekerja sama dengan paling berbakat ditingkat pendidikan bawah. Dengan ditingkat pendidikan secara umum, pentingnya keterlibatan dengan fakultas untuk keberhasilan akademis telah berulang kali diakui (Astin, 1984; Pascarella & Terenzini, 1991). Apakah yang sama terus berlaku untuk dibawah pendidikan berbakat?Juga, jurusan apa yang menarik anggota untuk bekerja dengan siswa berbakat? Apakah banding dari batang asli minat siswa berbakat, atau anggota fakultas di akhir pujian sepenuhnya program dari kesempatan? Memahami pujian fakultas dan administrator merupakan langkah besar menerobos pemahaman lebih lanjut tentang mahasiswa berbakat.
Penyelesaian
Pada tahun 1968, Gilbert menerima pujian mahasiswa dari perguruan tinggi, "Saya ingat tampilan dari sekolah-sekolah tinggi yang hormat, guru yang ramah dan bersahabat, yang terbaik dapat menghidupi diri sendiri, yang paling tidak memerlukan perawatan dari guru mereka. Ini seolah-olah pengajara praktik obat dimana yang sehat adalah sedikit perhatian "(hal. 193). Lebih dari tiga decade kemudian, muncul sikap yang sama untuk tetap pada kebanyakan kampus. Mahasiswa berbakat tidak hanya belajar sesering atau sebanyak mungkin sebagai anak-anak dan remaja berbakat. Pendidik dan mungkin peneliti percaya mahasiswa berbakat dapat menangani diri karena mereka dianggap sebagai orang dewasa dan yang remaja dan anak-anak berbakat masih rentan dalam perkembangan. Atau mungkin pendidik dan peneliti percaya itu, sejak perguruan tinggi dapat menyediakan siswa berbakat dengan tantangan akademis mereka selalu diinginkan, maka mereka harus mampu mencapai mereka sendiri. Namun, kami percaya bahwa ada cukup bukti untuk mendukung kepercayaan mahasiswa berbakat yang memiliki intelektual dan penting kebutuhan sosial yang berbeda dari orang-orang yang rata-rata kemampuan perguruan siswa. Terdapat sedikit bukti bahwa ini adalah kebutuhan sedang kami bertemu di sekolah umum dan perguruan tinggi. Jadi banyak pekerjaan yang harus dilakukan dalam hal ini semakin penting daerah. Untungnya, literatur yang ada bagi yang muda berbakat pada siswa menyediakan kerangka kerja untuk menyelidiki masalah ini secara menyeluruh. Pendidik dan peneliti dari berbagai bidang, termasuk psikologi, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi, perlu untuk bekerja bersama-sama untuk menentukan cara terbaik untuk mendukung dan mendorong kemampuan yang dimiliki mahasiswa.

Rabu, 27 Mei 2009

KAJIAN PENYELENGGARAAN AKREDITASI SEKOLAH

Oleh: Totok Sumaryanto F.
Dosen Universitas Negeri Semarang
Abstract
Tujuan diadakannya penelitian/kajian ini adalah untuk menemukan dan
mengembangkan: (1) potensi dan permasalahan penyelenggaraan pendidikan
dasar, (2) efektifitas komponen-komponen instrumen akreditasi sekolah
pendidikan dasar yang selama ini digunakan, dan (3) model penyelenggaraan
akreditasi pendidikan dasar.
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan atau memodifikasi
desain Penelitian dan Pengembangan (Educational Research & Development)
yang menurut Borg & Gall (1983: 775-776) dibagi ke dalam 7 tahapan.
Tahapan Riset & Development (R & D) tersebut adalah: (1) Pengumpulan
informasi dan kajian literatur, (2) Penyusunan desain dan instrumen
penyelenggaraan akreditasi pendidikan dasar, (3) Pengumpulan data
lapangan, (4) Pengalohan dan analisis data, (5) Penyusunan draft laporan, (6)
Seminar laporan, dan (7) Penyusunan laporan akhir. Sumber data penelitian ini
terdiri atas guru SD/MI dan MTs/SMP, kepala sekolah, Komite Sekolah, Badan
Akreditasi Sekolah Propinsi, dan kepala dinas kabupaten/kota di 15 propinsi
se-Indonesia.
Temuan studi ini berupa, pertama potensi dan permasalahan
penyelenggaraan pendidikan dasar, meliputi delapan aspek kajian, yaitu : (1)
kurikulum, (2) proses pembelajaran, (3) kompetensi lulusan, (4) tenaga
pendidik dan tenaga kependidikan, (5) sarana dan prasarana, (6) pengelolaan,
(7) pembiayaan, dan (8) penilaian. Kedua, kondisi dan efektifitas komponen
penyelenggaraan akreditasi pendidikan dasar, meliputi empat komponen, yaitu
(1) Lembaga Penyelenggara Akreditas, (2) Satuan Pendidikan Sasaran
Akreditasi, (3) Instrumen Akreditasi, dan (4) Prosedur Akreditasi. Ketiga,
pengembangan komponen dalam penyelenggaraan akreditasi pendidikan
dasar, empat komponen yang akan dianalisis pengembangannya, yaitu yaitu :
(1) Lembaga Penyelenggara Akreditas, (2) Satuan Pendidikan Sasaran
Akreditasi, (3) Instrumen Akreditasi, dan (4) Prosedur Akreditasi.
Kajian ini merekomendasikan beberapa hal, yaitu: (1) diperlukan sosialiasai
peraturan menteri tentang standar isi, sehingga sekolah-sekolah dapat siap
untuk diakreditasi, (2) sekolah perlu meningkatkan kinerja, (3) supervisi kelas
harus mendapat perhatian baik kualitas maupun kuantitasnya karena ini
merupakan bagian dari penjaminan mutu pendidikan, (4) sesuai dengan prinsip
acuan dalam melaksanakan akreditasi sekolah, terkait kemandirian, maka
kewenangan akreditasi sekolah berada pada lembaga eksternal dan
independen di luar sekolah,(5) evaluasi diri perlu disiapkan oleh sekolah
dengan membentuk gugus penjamin mutu internal, (6) tim asesor adalah
tenaga profesional yang tidak berstatus pejabat struktural dan bukan anggota
Badan Akreditasi Propinsi (BAP), (7) tim asesor ditetapkan melalui proses
sertifikasi asesor, dan (8) perlu dibangun jaringan komunikasi, untuk dapat
saling berkomunikasi dengan sekolah lain dan BAP-S/M
.
Kata Kunci: Akreditasi; pendidikan dasar; penyelenggaraan.
2
PENDAHULUAN
Kompetensi lulusan pada semua jenjang pendidikan merupakan topik
yang tidak akan pernah habis untuk dibahas. Berbagai upaya untuk
meningkatkan mutu lulusan terutama pada jenjang pendidikan dasar telah
dilakukan, namun lulusan pendidikan dasar masih jauh dari harapan semua
pihak. Hal itu ditandai dengan rendahnya daya saing lulusan pendidikan di
Indonesia dalam kaitannya dengan produktivitas tenaga kerja, lulusan
pendidikan di Indonesia berada pada peringkat 12 dari 12 negara yang
disurvei (PERC, 2001).
Salah satu upaya untuk meningkatkan mutu lulusan pendidikan dasar,
Menteri Pendidikan Nasional mengeluarkan keputusan No. 087/U/2002
tentang Akreditasi Sekolah. Keputusan tersebut kemudian diperkuat dengan
UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang kemudian
dijabarkan dalam PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
(SNP) yang lahir kemudian. Keputusan Mendiknas di atas dengan tegas
menunjuk seluruh sekolah agar diakreditasi, baik sekolah negeri atau swasta.
Hal ini merupakan kemajuan yang luar biasa karena sebelumnya Ditjen
Dikdasmen melalui keputusan Dirjen No. 020/C/Kep/1/1983 menyebutkan
akrditasi hanya diberlakukan untuk sekolah swata.
Akuntabilitas lembaga penyelenggara pendidikan pada jenjang
pendidikan dasar dapat diketahui dari peringkat akreditasi yang dimiliki
sekolah, hal ini sesuai dengan ayat 2 pasal 60 UU No. 20 tahun 2003 yang
menyatakan bahwa akreditasi terhadap program dan satuan pendidikan
dilakukan pemerintah dan/lembaga mandiri yang berwenang sebagai bentuk
akuntabilitas publik. Peringkat akreditasi tersebut harus benar-benar
menggambarkan kualitas sekolah sehingga masyarakat memperoleh
gambaran yang jelas tentang kualitas sekolah. Mengingat pentingnya
akreditasi baik bagi sekolah maupun masyarakat, perlu dilakukan studi tentang
pengembangan model penyelenggaraan akreditasi pada pendidikan dasar.
Mengacu pada rumusan masalah di atas, tujuan diadakannya
penelitian/studi ini adalah untuk menemukan dan mengembangkan: (1)
potensi dan permasalahan penyelenggaraan pendidikan dasar, (2) efektifitas
3
komponen-komponen instrumen akreditasi sekolah pendidikan dasar yang
selama ini digunakan, dan (3) model penyelenggaraan akreditasi pendidikan
dasar.
Akreditasi adalah suatu kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh suatu
badan yang disebut Badan Akreditasi Nasional (BAN) untuk mengakreditasi
atau menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan. Akreditasi
dilakukan sebagai bentuk pertanggungjawaban secara obyektif, adil,
transparan dan komprehensif oleh satuan pendidikan kepada publik.
Akreditasi dilakukan agar penyelenggaraan pendidikan pada semua
lingkup mengacu pada Standar Nasional Pendidikan, pemerintah membentuk
Badan Akreditasi Nasional (BAN) yang namanya dibedakan menurut satuan,
jalur dan jenjang pendidikan. Program atau satuan pendidikan pada jalur
formal pada jenjang pendidikan dasar dan menengah diakreditasi oleh BANS/
M (Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasyah) yang pada tingkat
propinsi dibentuk oleh gubernur.
Salah satu program pemerintah yang sedang dilaksanakan sekarang
adalah meningkatkan mutu pendidikan secara nasional. Peningkatan mutu di
setiap satuan pendidikan, diarahkan pada upaya terselenggaranya layanan
pendidikan kepada pihak yang berkepentingan atau masyarakat.
Upaya yang terus menerus dilakukan dan berkesinambungan
diharapkan dapat memberikan layanan pendidikan bermutu dan berkualitas,
yang dapat menjamin bahwa proses penyelenggaraan pendidikan di sekolah
sudah sesuai harapan dan yang seharusnya terjadi. Dengan demikian,
peningkatan mutu pada setiap sekolah sebagai satuan pendidikan diharapkan
dapat meningkatkan mutu sumber daya manusia secara nasional.
Akreditasi sekolah yang sebenarnya mempunyai pengertian sebagai
proses penilaian secara komprehensif terhadap kelayakan dan kinerja
lembaga atau suatu program pendidikan dilakukan sebagai bentuk
akuntabilitas publik, alat regulasi diri (self regulation) di mana sekolah
mengenal kekuatan dan kelemahan serta terus menerus meningkatkan
kekuatan dan memperbaiki kelemahannya. Pengertian ini akan lebih
4
memberikan makna dalam hasil sebagai suatu pengakuan, suatu sekolah
telah memenuhi standar kelayakan yang ditentukan.
UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, perlu
dilakukan pengembangan sekaligus membangun sistem pengendalian mutu
pendidikan melalui empat program yang terintegrasi, yaitu standarisasi,
evaluasi, akreditasi dan sertifikasi. Standarisasi pendidikan mempunyai makna
sebagai upaya penyamaan arah pendidikan secara nasional yang memiliki
keleluasan dan keluwesan dalam implementasinya. Evaluasi merupakan suatu
proses kontinu dalam memperoleh data maupun informasi guna pengambilan
suatu keputusan. Akreditasi merupakan suatu pengakuan terhadap kinerja
sekolah yang diwujudkan dengan adanya sertifikasi yang dikeluarkan suatu
lembaga mandiri dan profesional.
Mengingat yang diakreditasi adalah sekolah yang merupakan sistem
dari berbagai komponen dan saling terkait dalam pencapaian komponen
sekolah, maka sesuai Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor
087/V/2002 tanggal 14 Juni 2004 tentang Akreditasi Sekolah, komponen
sekolah yang menjadi bahan penilaian adalah yang dikembangkan dari
kualitas sekolah yaitu kurikulum dan proses belajar mengajar, manajemen
sekolah, organisasi/kelembagaan sekolah, sarana dan prasarana,
ketenagaan, pembiayaan, peserta didik, peran serta masyarakat dan
lingkungan/kultur sekolah.
Setiap komponen terdiri atas berbagai aspek dan indikator. Kurikulum
dan proses belajar mengajar 40 indikator utama (IU) dan 15 indikator
tambahan (IT), administrasi/manajeman sekolah 15 IU dan 15 IT,
organisasi/kelembagaan sekolah 5 IU dan 5 IT, sarana dan prasarana 10 IU
dan 10 IT, ketenagaan, pembiayaan 10 IU dan 5 IT, peserta didik 10 IU dan 5
IT, peran serta masyarakat 10 IU dan 5 IT, peran serta masyarakat 5 IU dan 5
IT, lingkungan/kultur sekolah 10 IU dan 5 IT. Jika dijumlahkan, maka terdiri
atas 115 IU dan 70 IT.
Semua indikator itu merupakan butir dari instrumen evaluasi diri yang
harus dijawab sekolah untuk menunjukkan, sekolah siap diakreditasi.
Selanjutnya sekolah mengajukan permohonan pada BAS propinsi untuk SMA,
5
dan BAS kabupaten/kota untuk TK, SD dan SMP serta SMK ke BAS pusat.
Untuk sekolah yang belum siap, berdasarkan self evaluation mereka
memperbaiki kelemahan dan meningkatkan kekuatan yang dimiliki.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan atau memodifikasi
desain Penelitian dan Pengembangan (Educational Research & Development)
yang menurut Borg & Gall (1983: 775-776) dibagi ke dalam 7 tahapan.
Tahapan Riset & Development (R & D) tersebut adalah: (1) Pengumpulan
informasi dan kajian literatur, (2) Penyusunan desain dan instrumen model
penyelenggaraan akreditasi pendidikan dasar, (3) Pengumpulan data
lapangan, (4) Pengalohan dan analisis data, (5) Penyusunan draft laporan, (6)
Seminar laporan, dan (7) Penyusunan laporan akhir.
Sumber data penelitian ini terdiri atas guru SD/MI dan MTS/SMP,
kepala sekolah, Komite Sekolah, Badan Akreditasi Sekolah Propinsi, dan
kepala dinas kabupaten/kota di 15 propinsi se-Indonesia. Kelima belas
propinsi tersebut terdiri dari 4 (empat) propinsi di pulau Jawa, yaitu Banten,
Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah/ DIY, sedangkan 11 propinsi
(sebelas) propinsi di Luar Jawa, yaitu Sumatera Barat, Sumatra Utara,
Kepulauan Riau, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi
Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Bali, NTB.
Dari kelima belas propinsi tersebut, empat propinsi di antaranya
dijadikan sebagai wilayah tryout, data yang didapatkan digunakan untuk
kepentingan uji validitas dan reliabilitas instrumen, yaitu Lampung, Kepulauan
Riau, Bali, dan Jawa Tengah.
Subjek penelitian adalah guru SD/MI dan MTS/SMP, kepala sekolah,
Komite Sekolah, Badan Akreditasi Sekolah Propinsi, dan kepala dinas
kabupaten/kota. Sampel penelitian ditentukan dengan menggunakan teknik
pengambilan sampel bertahap (multistage sampling) dengan tahapan sebagai
berikut:(1) Penentuan guru-guru sebagai sampel dipilih dengan teknik
Purposive sampling berdasarkan pertimbangan populasi terjangkau seperti
telah disebutkan di atas, (2) Penentuan guru di kabupaten/kota dipilih dengan
6
teknik area sampling berdasarkan wilayah yang terdiri dari satu kota dan dua
kabupaten untuk setiap propinsi berdasar pertimbangan pelaksanaan otonomi
daerah.
Pengumpulan data menggunakan metode survei melalui interview/FGD,
kuesioner, observasi lapangan dengan instrumen standar yang dikembangkan
peneliti. Sumber data dari guru SD/MI dan SMP/MTs, Kepala Sekolah, Komite
Sekolah, Badan Akreditasi Sekolah Propinsi, dan kepala dinas kabupaten/kota
di 15 propinsi se-Indonesia, dari septiap propinsi duiambil sampel 1 Kabupaten
dan 1 Kota.
Sesuai dengan karakteristik penelitian yang dilakukan, data yang
dihasilkan dari kuesioner dianalisis menggunakan teknik analisis deskriptif
untuk melihat kecenderungan-kecenderungan yang terjadi. Sedangkan data
yang bersifat kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara dan studi dokumen
dianalisis dengan teknik analisis data kualitatif model interaktif yang secara
simultan terdiri dari tahapan: (1) pengumpulan data, (2) Reduksi data, (3)
penyajian data, dan (4) penarikan kesimpulan/verifikasi. Juga dilakukan
analisis sistem untuk menentukan model penyelenggaraan akreditasi
pendidikan dasar.
Skema teknik analisis data tersebut dapat digambarkan sebagai
berikut ini :
Gambar 3.1 Skema Teknik Analisis Data
(Miles & Huberman dalam terjemahan Rohidi, 1992: 100)
Penyajian Data
Reduksi Data
Pengumpulan
Simpulan/ Verifikasi
Verifikasi /Simpulan
7
HASIL PENELITIAN
Potensi dan permasalahan penyelenggaraan pendidikan dasar
Terkait komponen kurikulum: (1) Kurikulum Nasional (KBK/KTSP) telah
dilaksanakan oleh sekolah-sekolah hal ini diakui oleh sebanyak 93,20%
responden, (2) aspek pengembangan perangkat pembelajaran dan perangkat
pendukung RRP belum memperlihatkan adanya penggunaan lebih dari tiga
buku mata pelajaran. Artinya, kekurangan penggunaan buku ini
memperlihatkan masih ada permasalahan dalam penggunaan buku/referensi
untuk pegangan dalam pengembangan perangkat pembelajaran dan
perangkat pendukung RPP. Di sisi siswa, penggunaan buku mata pelajaran ini
pun belum menunjukkan hal yang tidak potensial dalam menyelenggaraan
akreditasi pendidikan dasar. Untuk itu, Penggunaan buku mata pelajaran
sebagai referensi, baik yang dimiliki siswa maupun guru masih belum
potensial untuk dijadikan intrumen dalam penyelenggaraan akreditasi
pendidikan dasar.
Terkait komponen Proses pembelajaran: (1) Kehadiran guru belum
mencapai 100,00% dalam belajar mengajar di pendidikan dasar. Peran guru
sangat penting, sehingga ketidakhadiran guru menyebabkan proses
pembelajaran menjadi terganggu. Untuk itu, mengenai kehadiran ini
menjadikan masalah dalam pelaksanaan akreditasi pendidikan dasar. Di sisi
lain penyelenggaraan akreditasi pendidikan dasar juga mengalami masalah
pada pengelolaan kelas oleh guru. Masalah ini disebabkan masih terjadinya
guru yang duduk tetap di dalam kelas. Kondisi Itu pun diperparah dengan
kurangnya pemanfaatan alat peraga dalam proses belajar mengajar.
Sedangkan dilihat dari kepemilikan RPP oleh guru dan kehadiran siswa terlihat
masih berpotensi untuk dijadikan bahan penyelenggaraan akreditasi
pendidikan dasar. (2) Metode pembelajaran yang digunakan guru dalam
proses pembelajaran dapat dikatakan sangat variatif dengan strategi
pembelajaran yang telah ada. Dari keadaan ini pada metode pembelajaran,
akreditasi pendidikan dasar ini tampak masih potensial. (3) Intensitas
penggunaan media masih bersifat kadang-kadang. Bahkan dari kelengkapan
media yang dimiliki oleh pendidikan dasar juga masih dikatakan kurang
8
lengkap. Dilihat dari kondisi ini komponen proses relajar mengajar ini dapat
dikatakan ada masalah yang terletak pada pada penggunaan media
pembelajaran maupun ketersediaan kelengkapan media pembelajaran. (4)
Masih terjadinya masalah dalam implentasi pembelajaran kontektual (CTL).
Permasalahan ini diperoleh dari data yang masih memperlihatkan kurangnya
guru semua mata pelajaran yang mengembangkan program CTL dan diikuti
dengan minimnya guru yang mengikuti penataran pembelajaran CTL.
Komponen Kompetensi Lulusan: (1) standar kelulusan sekolah maupun
ketuntasan belajar menunjukkan potensi untuk diselenggarakan akreditasi
pendidikan dasar tidak ada masalah yang dirasakan oleh pendidikan dasar. (2)
Kondisi siswa: tidak ada permasalahan pada segi kondisi siswa yakni pada sisi
rasio guru tetap dengan siswa dan jumlah siswa per rombongan belajar.
Keduanya aspek dalam aspek kondisi ini menunjukkan potensi dalam
penyelenggaraan pendidikan dasar. (3) Umumnya sekolah yang memiliki
prestasi akademik baik relatif sedikit, demikian pula sekolah-sekolah yang
memiliki p[restasi non akademik tidak lebih dari 25% sekolah.
Komponen Tenaga Pendidik dan tenaga kependidikan: (1) masih ada
guru yang belum memenuhi kualifikasi sebagai pendidik pendidikan dasar,
masih ada yang belum Sarjana S1 dan Sarjana/Diploma non kependidikan
yang mengajar pada pendidikan dasar. (2) belum semua sekolah memiliki
tenag pustakawan, laboran IPA, laboran komputer, dan tata usaha, terutama
pada Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah.
Komponen sarana dan prasarana menunjukkan bahwa ruang kelas,
ruang Kepala Sekolah, ruang guru, perpustakaan, kamar kecil, ruang UKS,
tempat ibadah, kantin, dan fasilitas telekomunikasi sudah memadai dan
potensial tetapi untuk laboratorium, workshop, ruang bimbingan konseling,
ruang OSIS, hall (aula) dan ruang koperasi masih menghadapi permasalahan.
Khusus laboratorium dan workshop yang merupakan jantung sekolah dan
proses belajar mengajar maka harus dibenahi dan harus tersedia karena di
dua tempat itu sebagai tempat pengembangan ilmu, dan siswa dihadapkan
pada permasalahan secara nyata sehingga siswa akan cepat dan mudah
dalam pembelajaran.
9
Komponen Pengelolaan: (1) Belum seluruh sekolah melipabtakan unsur
masyarakat dan orangtua peserta didik dalam menyusun Rencana Anggaran
Pendapatan Belanja Sekolah (RAPBS), (2) tingkat keterlaksanaan program,
keterlibatan guru dan komite sekolah dalam implementasi program,
keterbukaan sekolah dalam hal keuangan dan program/hasil,
pertanggungjawaban sekolah dalam hal keuangan masih menghadapi
permasalahan, (3) Supervisi sekolah masih menjadi permasalah di dunia
pendidikan karena masih banyak guru tampil di kelas yang tidak pernah
disupervisi oleh Kepala Sekolah maupun tim khusus yang ditunjuk oleh Kepala
sekolah maupun pengawas mata pelajaran, (4) Kerjasama pimpinan sekolah
dengan warga sekolah lumayan bagus mencapai 50% ini potensial sekali
untuk dikembangkan karena dengan kerjasama segala masalah dapat
terpecahkan, namun untuk tingkat keterbukaan pimpinan sekolah dengan
warga sekolah menjadi permasalahan karena yang sangat baik
keterbukaannya baru 47,50%.
Komponen Pembiayaan: (1) Sumber pendanaan terbesar dari
pemerintah khususnya pemerintah Kabupaten/Kota bagi sekolah negeri
sedang sekolah swasta berasal dari masyarakat khususnya orangtua siswa.
Sekolah masih mengalami kesulitan dalam menggali dana dari dunia usaha
maupun dunia industri. (2) Sekolah di Indonesia sudah komitmen terhadap
mutu hal ini nampak dari alokasi anggaran untuk pencapaian komponen isi,
tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, proses, sarana pendidikan, kualitas
lulusan, pengelolaan, penggalian sumber dana, dan penilaian, telah
dialokasikan dengan cukup proporsional. (3) Permasalahan yang dihadapi
dalam pertanggungjawaban penggunaan dana adalah keterbukaan
(transparency) karena yang sangat transparan baru mencapai 23,70% untuk
itu uang adalah milik negara, masyarakat, dan orangtua maka
pertanggugjawabannya harusnya disampiakan kepada seluruh pemangku
kepentingan tersebut.
Komponen Penilaian: (1) pada umumnya guru telah siap melaksanakan
penilaian dan mengadministrasikan hasil penilaian tetapi untuk
pengembangan kegiatan belajar mengajar yang siap mengembangkan semua
10
mata pelajaran baru mencapai 54,20% maka dari itu ke depan hal ini perlu
dibenahi dan diperbaiki karena urusan pokok (core bussiness) sekolah adalah
proses belajar mengajar. (2) Potensi yang perlu dihargai dan membanggakan
adalah guru-guru di pendidikan dasar ternyata sudah banyak menggunakan
variasi model penilaian (66,90%), dengan kata lain tidak hanya tes tertulis saja
tetapi juga sudah menggunakan pengamatan, unjuk kerja, dan portofolio tetapi
masih bersifat monoton karena frekuensi pembahasan masih sangat terbatas
baru 2 sampai 3 kali pembahasan setiap semester per mata pelajaran.
Efektivitas Komponen Instrumen Akreditasi Pendidikan Dasar
Perangkat akreditasi sekolah pendidikan dasar meliputi komponenkomponen:
(1) kurikulum dan pembelajaran, (2) administrasi dan manajemen
sekolah, (3) organisasi kelembagaan, (4) sarana dan prasarana, (5)
ketenagaan, (6) pembiayaan, (7) peserta didik, (8) peran serta masyarakat,
dan (9) lingkungan budaya sekolah. Secara umum mendapatkan penilaian
responden efektif dan bahkan sangat efektif untuk dijadikan sebagai alat ukur
sehingga dapat mengungkap komponen-komponen akreditasi sekolah
sekolah/madrasah.
Kesiapan dan Pengembangan Model Penyelenggaraan Akreditasi
Pendidikan Dasar
Semua sekolah yang menjadi responden dalam studi ini menyatakan
kesiapannya dalam menghadapi akreditasi sekolah. Akreditasi sekolah baik
terhadap kelayakan maupun kinerja, dilakukan sebagai bentuk akuntabilitas
publik yang dilakukan oleh suatu lembaga yang mandiri dan profesional.
Sebagai implikasinya, hanya sekolah yang terakreditasi yang berhak
mengeluarkan ijazah atau sertifikat kelulusan.
Mekanisme Penyelenggaraan Akreditasi Pendidikan Dasar
Sesuai dengan UU Nomor 20/2003 tentang sisdiknas pasal 60 ayat 1
dan 2 bahwa akreditasi dilakukan untuk menentukan kelayakan program
dan/atau satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan non-formal pada
setiap jenjang dan jenis pendidikan. Akreditasi terhadap program dan satuan
11
pendidikan dilakukan oleh pemerintah dan/atau lembaga mandiri yang
berwenang sebagai bentuk akuntabilitas publik. Akreditasi dilakukan dalam
rangka menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan nasional, yang saling
terkait antara evaluasi diri, standarisasi, akreditasi, dan sertifikai.
Adapun struktur hubungan kerja akreditasi Sekolah/Madrasah adalah
seperti digambarkan berikut ini.
Gambar 2. Struktur hubungan kerja akreditasi S/M
Akreditasi dilakukan terhadap sekolah yang menyatakan siap melalui
evaluasi diri dan mengajukan permohonan akreditasi kepada BAP S/M.
Secara umum mekanisme dan prosedur akreditasi sekolah, baik yang
dilakukan oleh BA Provinsi maupun Unit pelaksana teknis BA Kabupaten/Kota,
sesuai dengan kewenangannya, adalah seperti tampak pada bagan berikut ini:
MENAG
DITJEN
PENDAIS
KANWIL
DEPAG
KANDEP
MADRASAH
MENDIKNAS
GUBERNUR
BUPATI/
WALIKOTA
DITJEN
MANDIKDASMEN
DITJEN
PMPTK
BALITBANG BAN-S/M
DISDIK
PROV
DISDIK
KAB/KOT
SEKOLAH
LPMP BAP-S/M
Unit Pelaksana
Sekretariat BAP-S/M
KAB/KOTA
BSNP
12
Gambar 3. Mekanisme dan prosedur akreditasi sekolah
Model Alternatif Penyelenggaraan Akreditasi Pendidikan Dasar
Berdasarkan model penyelenggaraan akreditasi yang sudah berjalan,
penyelenggaraan akreditasi yang diharapkan, serta kendala-kendala yang
dihadapi dalam penyelenggaraaan akreditasi, dapat disusun alternatif model
akreditasi pendidikan dasar seperti gambar 4.
Beberapa tahapan yang penting dalam model alternatif ini adalah pada
tahap evaluasi diri/penilaian BAN-S/M (di tingkat propinsi BAP-S/M): (1)
sekolah memenuhi syarat untuk akreditasi dan mendapat rekomendasi dari
Dinas Pendidikan Terkait yang sebelumnya telah dilakukan audit internal
gugus penjamin mutu di tingkat sekolah, (2) sekolah mengajukan permohonan
kepada BAN-S/M untuk melakukan proses akreditasi dengan mengisi
instrumen evaluasi diri BAN-S/M dan mengembalikannya ke BAN-S/M, (3)
selanjutnya dilakukan penilaian Evaluasi Diri oleh BAN-S/M, (4) Bila nilai
Evaluasi Diri kurang dari 56 maka sekolah yang bersangkutan tidak layak
untuk di visitasi. Dengan demikian proses akreditasi tidak dilanjutkan. Dalam
keadaan seperti ini maka peran pengawas sekolah untuk mengadakan
Pelaksanaan Evaluasi
Diri oleh Sekolah
Pengajuan Akreditasi
oleh Sekolah
Penentuan Kelayakan
Visitasi oleh BAN-S/M
Layak
Pelaksanaan Visitasi
oleh Tim Asesor
Penetapan Hasil
Akreditasi oleh BAN-S/M
Terakreditasi
Penertiban Hasil
Akreditasi oleh BAN-S/M
Perbaikan Internal
oleh Sekolah
Tidak
Tidak
Ya
Ya
13
pembinaan baik terkait manajerial maupun akademik sangat besar. Jika nilai
Evaluasi Diri lebih dari atau sama dengan 56 sekolah yang bersangkutan
layak untuk diadakan visitasi.
Gambar 4. Pengembangan Model Penyelenggaraan Akreditasi Pendidikan
Dasar
Pada tahap visitasi dan rapat pleno BAN-S/M: (1) BAN-S/M membentuk
dan menugaskan Tim asesor untuk melakukan visitasi ke sekolah (2-3 orang/
2-5 hari/ sesuai kebutuhan), (2) Tim asesor mengunjungi sekolah untuk
verifikasi dan validasi data/informasi evaluasi diri, kemudian melakukan
klarifikasi temuan dengan kepala sekolah/tim responden, (3) Tim asesor
membuat laporan individual dan laporan TIM untuk kemudian diserahkan ke
Pelaksanaan Evaluasi
Diri oleh Sekolah
Pengajuan Akreditasi
oleh Sekolah
Penentuan Kelayakan
Visitasi oleh BAN-S/M
Layak
Pelaksanaan Visitasi
oleh Tim Asesor
Penetapan Hasil Akreditasi oleh
Visitasi oleh BAN-S/M
Terakreditasi
Penertiban Hasil Akreditasi
oleh BAN-S/M
Perbaikan Internal
oleh Sekolah
Tidak
Pembinaan oleh
Pengawas Sekolah
menyangkut manajerial
dan akademik
Tidak
Ya
Ya
Audit Internal
Gugus
Penjamin Mutu
Sekolah
14
BAN-S/M, dan (4) rapat pleno BAN-S/M untuk menentukan hasil akreditasi dan
menerbitkan Surat Kuputusan BAN-S/M. Jika tidak terakreditasi maka kembali
peran dan pembinaan Pengawas Sekolah sangat dibutuhkan dalam
melengkapi kembali komponen-komponen akreditasi yang masing kurang dan
menyusun kembali Evaluasi Diri sekolah. Selanjutnya dapat mengajukan
kembali untuk akreditasi pada tahun berikutnya.
REKOMENDASI
Berdasar hasil penelitian dapat dirumuskan rekomendasi sebagai
berikut: (1) Diperlukan sosialiasai peraturan menteri tentang standar isi,
sehingga sekolah-sekolah dapat siap untuk diakreditasi, (2) Sekolah perlu
memperoleh perhatian dan perbaikan apalagi ini menyangkut kinerja sekolah
yaitu kinerja manajemen dan kinerja keuangan dan transparansi manajemen
keuangannya, (3) Supervisi kelas harus mendapat perhatian baik kualitas
maupun kuantitasnya karena ini merupakan bagian dari penjaminan mutu
pendidikan, (4) Sesuai dengan prinsip acuan dalam melaksanakan akreditasi
sekolah, terkait kemandirian, maka kewenangan akreditasi sekolah berada
pada lembaga eksternal dan independen di luar sekolah, (5) Evaluasi diri perlu
disiapkan oleh sekolah dengan membentuk gugus penjamin mutu internal
dengan melakukan evaluasi diri berkelanjutan, tiap semester. Kedudukannya
di atas supervisi dan dikoordinasikan oleh Kepala Sekolah, (6) BAN-S/M
sebagai lembaga independen maka pelaksananya harus orang independen,
agar menggambarkan keadaan sekolah yang benar-benar menunjukkan
kinerja untuk melaksanakan pendidikan bagi masyarakat, (7) Tim asesor
adalah tenaga profesional yang tidak berstatus pejabat struktural dan bukan
anggota Badan Akreditasi Propinsi (BAP), (8) Tim asesor ditetapkan melalui
proses sertifikasi asesor, (9) Perlu dibangun jaringan komunikasi, untuk dapat
saling berkomunikasi dengan sekolah lain dan BAP-S/M.
15
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Maswardi M. BSNP, Akreditasi, Sertifikasi, dan Penjaminan Mutu.
Dalam Pontianak Post, Selasa, 24 Januari 2006
Balitbang, Depdiknas. 2000. Statistik Pendidikan. Jakarta: Balitbang
Depdiknas.
Chamidi, Safrudin Ismi. 2004. “Peningkatan Mutu Pendidikan melalui
Manajemen Berbasis Sekolah”, dalam Isu-isu Pendidikan di
Indonesia: Lima Isu Pendidikan Triwulan Kedua. Pusat Data dan
Informasi Pendidikan, Balitbang Depdiknas.
Scheerens, J. 1992. Effective Schoolling: Research Theory and Practice.
London Willer House : Cassel
Suryadi, Ace dan Dasim Budimansyah. 2004. Pendidikan Nasional Menuju
Masyarakat Masa Depan. Jakarta: Genesindo.
Umaedi. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah : sebuah
pendekatan baru dalam pengelolaan sekolah untuk peningkatan mutu.
Direktur Pendidikan Menengah Umum Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pendidikan Menengah Umum, April 1999.
Yadi Mulyadi. Demokratisasi Pendidikan (Kajian Pada Jenjang Pendidikan
Dasar) dalam HTUhttp://www.ekofeum.or.id/artikel.php?cid=48UTH (30 April
2007)
Zamroni. 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf
Publishing.

Pemanfaatan Jaringan Perguruan Tinggi Untuk Peningkatan Akses dan Mutu Layanan PAUD Non Formal

Perguruan Tinggi seyogyanya adalah tempat persemaian ilmu pengetahuan, di mana buah dari ilmu pengetahuan dapat dipetik berupa hasil karya dan manfaat nyata bagi masyarakat. Selama ini perguruan tinggi masih dipandang sebagai menara gading yang menjulang jauh dan tidak menyentuh permasalahan yang dihadapi masyarakat di sekitarnya.

Tulisan ini merupakan sebuah refleksi terhadap kondisi yang terjadi di perguruan tinggi, tempat di mana saya bekerja. Sebagai salah seorang staf perempuan, saya merasakan adanya kebutuhan akan pentingnya suatu wadah non-formal untuk memenuhi kebutuhan dari perempuan bekerja yang ingin menjaga keseimbangan antara karir dan keluarga. Sebagai perempuan bekerja, terdapat kekhawatiran di mana dia harus dapat membagi waktu, tenaga, dan pikiran untuk karir dan keluarga.

Pada tahun 2006 Indonesia mengalami kemajuan dengan angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) mencapai 0,711 dan berada di urutan 108, mengalahkan Vietnam yang mempunyai nilai 0,709. Kecenderungan dari angka IPM Indonesia adalah terus menerus naik (0,677 pada tahun1999 ; 0,697 pada tahun 2005; dan 0,711 pada tahun 2006) (http://id.wikipedia.org/wiki/Indeks_pembangunan_manusia). Peran perguruan tinggi sangat diharapkan dapat mewujudkan kemajuan bangsa ke arah yang lebih baik. Walaupun pendidikan anak usia dini bukanlah prasyarat untuk mengikuti pendidikan dasar (Pasal 28 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional), namun pendidikan dini (usia 0-6 tahun) amat penting dalam rangka mendukung keberhasilan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun dan dapat meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia Indonesia di level internasional.

Menurut Balitbang Depdiknas, dari sekitar 28,2 juta anak usia 0-6 tahun, baru 7,2 juta (25,3 %) yang memperoleh layanan PAUD. Sejauh ini perguruan tinggi di Indonesia belum ada yang menyediakan fasilitas Taman Penitipan Anak (TPA)/Child Care untuk anak-anak staf yang bekerja di institusi tersebut dan juga anak-anak masyarakat sekitar. Hal ini mengakibatkan banyak staf perempuan perguruan tinggi tersebut yang tidak optimal dalam menjalankan profesinya. Beberapa di antara mereka banyak yang mengambil cuti berkepanjangan, ada pula yang akhirnya meninggalkan profesinya di perguruan tinggi demi mengurus buah hati tercinta. Padahal, apabila terdapat TPA/Child Care di lingkungan Perguruan Tinggi yang dikelola secara profesional oleh fakultas-fakultas yang mempunyai korelasi dengan kesehatan dan tumbuh kembang anak, seperti fakultas psikologi, fakultas kedokteran, fakultas kedokteran gigi, fakultas kesehatan masyarakat, sampai fakultas sastra untuk mengembangkan kemampuan linguistik bagi anak-anak. Berikut adalah sederet manfaat yang bisa didapat :

.Peningkatkan produktifitas staf dan dosen perguruan tinggi.

Produktivitas staf maupun dosen dapat meningkat karena secara psikologis mereka bekerja dalam keadaan tenang, tidak khawatir sebab pada waktu istirahat, mereka dapat melihat dan bermain bersama anak mereka di TPA/Child Care yang ada di lingkungan perguruan tinggi tempat mereka bekerja. Jadi, waktu yang dihabiskan oleh orang tua bersama anaknya menjadi lebih banyak, di samping itu kemampuan sosialisasi anak pun berkembang karena memiliki teman sebaya yang diawasi oleh pengasuh profesional.

.Peningkatan akses dan mutu layanan PAUD di tengah masyarakat.

Masyarakat di sekitar kampus dapat juga menitipkan anak-anak mereka di TPA/Child Care yang dikelola oleh perguruan tinggi. Untuk masalah pembiayaan, pihak perguruan tinggi bisa menggunakan pola subsidi silang untuk masyarakat yang tidak mampu, juga dapat diupayakan pengadaan sponsor dari perusahaan-perusahaan yang peduli dengan Pendidikan Anak Usia Dini, dalam hal ini dapat dimanfaatkan jaringan alumni. Dengan pelayanan yang profesional, diharapkan masyarakat dapat merasakan secara langsung kontribusi positif dari perguruan tinggi tersebut.

.Pengembangan ilmu pengetahuan

TPA/Child Care di lingkungan perguruan tinggi dapat dijadikan sebagai laboratorium bayi dan balita sebagai unit pendukung penyelenggara kegiatan pendidikan, khususnya di bidang perkembangan aspek biopsikososial bayi dan balita dalam bentuk pengajaran dan penelitian. Adapun penelitian yang dapat dilakukan adalah penelitian program kesehatan, gizi, dan psikososial terpadu, penelitian perkembangan motorik halus pada usia dini, dan penelitian bermain simbolik dalam interaksi ibu dan anak maupun dalam proses belajar. Para dosen dan mahasiswa dari fakultas-fakultas yang mempunyai korelasi dengan kesehatan dan tumbuh kembang anak pun dapat mengaktualisasikan dan mengeksplorasi kemampuan akademik yang selama ini dipelajari di ruang kuliah.

Dengan memanfaatkan jalur perguruan tinggi yang jumlahnya ribuan yang tersebar di Indonesia, maka akses Pendidikan Anak Usia Dini jalur non-formal diharapkan dapat meningkat baik dari segi kuantitas maupun kualitas, sehingga dapat mendukung keberhasilan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun.

KEPEDULIAN MASYARAKAT DALAM MENGEMBANGKAN WIRASWASTA DALAM BENTUK KARYA-KARYANYA

Pada awalnya bahwa wiraswasta memang mengalami peningkatan yang sangat signifikan sekali karena didasari oleh niat dan semangat kerja keras agar supaya usahanya itu berjalan dengan lancar. Hal inilah yang perlu kita kaji ulang tentang mengapa usaha usaha yang berkarya sendiri lebih berkembang daripada mengikuti pekerjaan orang lain. Apa sebenarnya yang menjadi topik penyebab ini, apakah ini merupakan keharusan dari atas dasar niat ataupun hanya iseng belaka. Perkembangan jaman semakin maju banyak import asing yang masing ke negara kita yaitu Indonesia sehingga saking banyaknya produk-produk keluaran dari asing malah menang yang menjadi pertanyaannya adalah kenapa kita kalah terhadap kemajuan jaman dario luar negeri sedangkan kita hanya ketergantungan terus. Mana jiwa pemimpin kita dan mana rasa nasional dan patriotisme kita terhadap kemajuan jaman ini.

Dalam pandangan menurut tingkat kemajuan jaman ini sebenarnya kita bisa untuk melakukannya hanya terang saja orang-orang kita sedikit punya sifat malas-malasan sehingga pikiran kita hanya tertuju pada datangnya import terus. Nah inilah justru yang kita sayangkan sebagai bangsa Indonesia. Bangsa kita khan besar yang mempunyai potensi apa saja mulai dari wisata kekayaan alam seni dan budaya dan lain-lain mengapa tidak mempergunakan ini malah jika kita mau untuk mempromosikan kekayaan kita ini kepada pihak asing maka yang kita akan senang dan bangga karena inilah sifat dari manusia bangsa Indonesia yang sebenarnya dan yang mau mencintai dan mempergunakan produk buatan negeri kita sendiri.Pada dasarnya hasil dari kekayaan kita ini nanti untuk siapa ya untuk kita kita ini mulai dari fasilitas yang memadai sampai yang lainnya.

Kita punya lambang negara yaitu Burung Garuda Pancasila yang artinya burung ini mampu mempersatukan memperjuangkan dan menarik simpati bangsa lain untuk datang dan berkunjung ke negeri kita guna tujuan memberikan kesan yang baik sehingga kita bisa bertukar kebudayaan pikiran bahasa dan lain sebagainya.Apapun yang terjadi bangsa Indonesia tetap bangsa yang dulu yaitu bangsa yang mau menghargai jasa-jasa para pahlawan mulai dari jaman kerajaan pancawati dari seorang raja yang bernama prabu puntadewa sampai kerajaan yang sekarang sudah berdiri.Maka dari itu kita jangan melupakan sejarah. Sejarah bukan asal-asalan tapi sejarah merupakan tolak ukur dari keberhasilan hidup kita sebagai rakyat Indonesia. Kita mengenal patih Gajah mada yang mampu mempersatukan nusantara beserta bentuk kekayaan leluhurnya mulai dari Sabang sampai Merauke.

Nah dari hasil beliau ini kita bisa gali kembali semuanya tanpa terkecuali. Apa dibalik latar belakang bahwa negara Indonesia punya segala-galanya yaitu mengenai niat yang tulus dan mau memberikan sebuah hasil yang didapatnya untuk nantinya dapat di budidayakan kembali.

Internet dan Pendidikan

Saat ini kita berada pada zaman dimana kita harus bergerak secepat kilat jika kita ingin terus berada pada arus zaman. Segala sesuatunya berubah setiap kali matahari terbit dan tenggelam. Hari esok datang dengan berjuta perkembangan dan hal-hal baru. Begitu halnya teknologi. Teknologi diadaptasikan pada segala aspek kehidupan, membuat hidup jadi lebih mudah dan menarik. Teknologi pun sedemikian rupa diaplikasikan untuk dunia pendidikan. Bagi yang berpendapat bahwa pendidikan online akan berkembang dikemudian hari, mungkin Anda telah ketinggalan kereta, pendidikan online, telah berkembang sedemikian rupa disaat sekarang ini.

Pendidikan Online, Disaat Sekarang dan Disaat Mendatang

Belakangan, banyak sekolah, universitas dan institusi pendidikan lainnya yang menawarkan pendidikan jarak jauh via internet. Bahkan, beberapa dari mereka hanya menawarkan pendidikan online, dan menjadi institusi virtual. Kitapun sekarang bisa menemukan dengan mudah berbagai situs pendukung pendidikan online. Ada yang menawarkan meeting place, video conference, bahkan sebuah kelas virtual, lengkap dengan video dan audio. Contohnya WiZiQ, dimana siapapun bisa mengajar dan belajar apapun, hanya dengan sign up, atur jadwal sesi, pilih sesi yang kita inginkan, dan gunakan kelas virtualnya. Jadi jelas, pendidikan online bukan merupakan masa depan lagi, tapi merupakan masa kini.

Kenapa Kelas Virtual Online?

Integrasi pendidikan online memberikan manfaat lebih dibanding kelas tradisional. Melalui kelas virtual, kita tetap bisa berhubungan langsung dengan pengajar, berdiskusi, memberikan komentar, penjelasan atau semua jenis aktivitas lainnya yang biasa dilakukan di kelas biasa. Namun, keunggulannya, semua hal ini sekarang bisa dilakukan kapanpun dari manapun di seluruh dunia, hanya dengan koneksi internet. Waktu pun tidak jadi masalah lagi, seseorang bisa mengambil sebuah kelas online dengan mencocokkan jadwalnya sendiri, sesuai dengan waktu luangnya, karena kelas virtual selalu disitu, aktif 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Anda bisa mengikuti kelas tentang bisnis ekonomi dimalam hari sebelum Anda tidur, atau belajar bahasa Inggris di hari minggu pagi. Inilah kelebihan lain kelas virtual dibanding kelas biasa.

Teknologi Untuk Pendidikan Virtual

Pada dasarnya, mudah untuk dimengerti kenapa belajar online lebih nyaman dan telah menjadi pilihan. Sebelumnya, kita harus berangkat ke kampus atau sekolah, membuat catatan dan kemudian belajar lagi dirumah. Selanjutnya berkembang, kita belajar dengan powerpoint presentation, penggunaan komputer lebih lanjut, dan pemanfaatan internet untuk sumber informasi. Idealnya, kenapa tidak menggabungkan kedua hal ini agar semua bisa lebih mudah? Inilah yang ditawarkan oleh pendidikan virtual, dan hal ini juga yang menjadi alasan kenapa belajar online menjadi populer belakangan ini.

Teknologi pun terus maju pesat. Setiap saat selalu berevolusi dengan tujuan untuk memberikan kemudahan dan kenyamanan lebih bagi para pengguna pendidikan online. Sebagai contoh, sekarang seorang murid bisa merekam perkuliahan online-nya untuk diakses dikemudian hari, powerpoint presentation bisa diubah ke podcasts dan di transfer ke iPod, dan kemudahan kemudahan lainnya.

Pendidikan di Dunia Cyber Solusi Beberapa Masalah

Dunia pendidikan online telah membuat proses belajar menjadi proses yang lebih menarik, kaya akan peluang, keleluasaan dan kenyamanan. Biayapun bukan menjadi masalah lagi dengan begitu banyaknya platform, organisasi dan individual yang peduli akan hal ini dengan memeberikan tool dan layanan gratis. Biaya perjalanan pun bukan merupakan sebuah isu lagi, karena yang dibutuhkan hanyalah computer dengan koneksi internet.

Bisnis eLearning ditahun 2010

Sekarang, mari kita lihat hal ini dari segi bisnis. Disadur dari sebuah artikel di thejournal.com, San Jose, peneliti pasar di Global Industry Analysts, sebuah organisasi yang berbasis di California, AS, menyebutkan bahwa rancangan pasar global eLearning akan bernilai $ 52.6 miliar pada tahun 2010. Serta dalam eLearning: A Global Strategic Business Report, sebuah laporan yang dikeluarkan oleh organisasi tersebut, ditahun 2007 saja, industry pendidikan online di AS sudah bernilai $ 17.5 juta. Dalam laporan itu juga diperkirakan bahwa pengguna eLearning di Asia diharapkan akan mencapai pertumbuhan tahunan dari 25 persen menjadi 30 persen ditahun 2010, dan ditargetkan seluruh dunia akan mencapai antara 15 persen dan 30 persen. Dilihat dari laporan ini, sudah dapat diperkirakan bagaimana berkembangnya nanti pendidikan online di dunia dalam beberapa tahun mendatang ini.

Antara Pelajar dan Pengajar

Namun, terlepas dari semua peluang dan perkembangan ini, semua akan berbalik lagi pada masyarakatnya. Dibutuhkan keinginan dan ketertarikan pelajar untuk mulai memanfaatkan teknologi untuk belajar online, dan kemampuan para pengajar untuk beradapatasi dengan perkembangan teknologi, sehingganya pendidikan online akan terus berkembang dan menjadi lebih baik.

Dimana Posisi Indonesia?

Sudah tidak dapat dipungkiri lagi, perkembangan internet di Indonesia sudah cukup menggembirakan. Jika kita bandingkan pengguna internet di tahun 2000 dengan tahun 2008, sudah sangat jauh berbeda. Hal ini semestinya bisa menjadi peluang untuk lebih mempopulerkan pendidikan online. Mari kita ambil perbandingan dengan negara lain, India. Belakangan India telah menjadi salah satu negara yang diperhitungkan di Asia. Kemajuan dibidang teknologi sangatlah pesat di negara ini, begitupun dengan perkembangan pendidikan online-nya. Mari kita ambil contoh lagi dengan WiZiQ, salah satu platform penyedia kelas virtual gratis. India adalah pengguna WiZiQ terbanyak di dunia, diikuti oleh AS. Indonesia? Berada pada angka 27 (dari google analytics, per 21 November 2008). Ini baru dilihat dari satu penyedia kelas online. Namun, diikuti dengan kemauan dan kepedulian semua pihak, angka ini tentunya akan bisa manjadi lebih baik, dan pendidikan online di Indonesia akan menjadi lebih popular dan terus berkembang.

Korporatorial Pendidikan Non Formal

Carut-marut dunia pendidikan Indonesia, sungguh tampil sebagai suatu realitas yang sangat memprihatinkan. Mahalnya biaya pendidikan yang tidak serta merta dibarengi dengan peningkatan kualitas secara signifikan, tentu menimbulkan tanda tanya besar mengenai orientasi pendidikan yang sebenarnya sedang ingin dicapai.
Ironisnya, disaat beberapa negara tetangga terus berupaya keras melakukan peningkatan kualitas pada sektor pendidikan, banyak pihak di negara ini justru menempatkan pendidikan sebagai suatu komoditas yang memiliki nilai jual yang tinggi. Tak mengherankan bahwa ketika banyak pihak mengejar pendidikan dari sisi kuantitas, tentu menimbulkan berbagai macam konsekuensi logis seperti terabaikannya faktor kualitas pendidikan.
Parahnya lagi, belakangan kita juga telah disadarkan bahwa banyak lulusan pendidikan formal tidak memiliki spesifikasi keahlian yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Menanggapi kondisi yang seperti ini, Paulus Wisnu Anggoro, Direktur UAJY-Delcam Traning Center, menuturkan bahwa banyak dari kalangan industri yang menjadi kliennya mengeluhkan keterbatasan skill yang dimiliki oleh para lulusan perguruan tinggi, sehingga mau tidak mau seorang fresh graduate harus dilatih dari awal lagi. Ini pemborosan untuk pihak perusahaan sebagai user lulusan perguruan tinggi.
Dihadapkan pada kompleksnya situasi seperti yang dijabarkan diatas, kini banyak lembaga pendidikan non formal berupaya menempatkan diri sebagai alternatif solusi permasalahan diatas. Dengan tawaran sifat aplikatif dan biaya yang relatif lebih murah, banyak lembaga pendidikan non formal terbukti mampu menghasilkan lulusan yang sama kualitasnya bahkan lebih handal dari pada lulusan yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan formal dalam menghadapi persaingan.
Dalam situasi demikian, makna dibalik fenomena bermunculannya lembaga pendidikan non formal sebenarnya lebih ingin memberikan ruang kesadaran baru pada masyarakat, bahwa upaya pendidikan bukan sekedar kegiatan untuk meraih sertifikasi atau legalitas semata. Lebih daripada itu, upaya pendidikan sejatinya merupakan kegiatan penyerapan dan internalisasi ilmu, yang pada akhirnya diharapkan mampu membawa peningkatan taraf kehidupan bagi individu maupun masyarakat dalam berbagai aspek.
Fleksibilitas waktu
Keunggulan lain yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan non formal sebenarnya ada pada fleksibilitas waktu yang dimiliki. Selain bisa dijalankan secara manunggal, pendidikan non formal bisa dijalankan pula secara berdampingan dengan pendidikan formal. Tak mengherankan apabila belakangan lembaga pendidikan non formal tumbuh dengan pesat, berbanding lurus dengan tingginya minat masyarakat terhadap jenis pendidikan tersebut.
Tidak hanya itu, lembaga pendidikan non formal juga berpeluang untuk menghasilkan tenaga kerja yang siap pakai. Hal ini terbukti dari banyaknya lembaga pendidikan non formal seperti ADTC dan Macell Education Center (MEC) yang siap menyalurkan lulusan terbaiknya ke berbagai perusahaan rekanan. Ini merupakan tawaran yang patut dipertimbangkan ditengah sulitnya mencari lapangan pekerjaan seperti sekarang ini.
Antonius Sumarno selaku Branch Manager English Language Training International (ELTI) Yogyakarta, juga menuturkan bahwa kemunculan lembaga pendidikan non formal seperti lembaga pelatihan bahasa misalnya, sebenarnya tidak hanya berfungsi untuk menyiapkan diri dalam menghadapi persaingan di era globalisasi. Setidaknya dengan penguasaan bahasa asing, individu akan dimudahkan dalam melakukan penyerapan berbagai ilmu pengetahuan yang saat ini hampir semua referensi terbarunya hanya tersedia dalam bahasa asing. Selanjutnya keunggulan tersebut dapat pula memperluas peluang individu dalam menangkap berbagai kesempatan.
Hebatnya lagi, tersedia pula lembaga pendidikan non formal yang tidak hanya membekali lulusannya dengan ilmu, namun juga membekali sikap kemandirian yang mendorong terciptanya kesempatan untuk berwirausaha. Ini merupakan bukti nyata upaya memperkuat struktur riil perekonomian masyarakat yang belakangan makin terpuruk. Disaat banyak orang kebingungan mencari pekerjaan, banyak lulusan lembaga pendidikan non formal yang menciptakan lapangan pekerjaan.
Namun dibalik semua keunggulan dan variasi lembaga pendidikan non formal yang tersedia, kejelian masyarakat dalam memilih lembaga pendidikan non formal sebagai wahana untuk mengasah keterampilan dan menyiapkan diri dalam menghadapi persaingan penting untuk dipertahankan. Indikator yang paling sederhana adalah seberapa besar kesesuian bidang pelatihan yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan non formal dengan minat maupun bidang yang saat ini kita geluti.
Tujuannya, tentu tidak lain supaya keahlian yang didapatkan dari pelatihan lembaga pendidikan non formal dapat berjalan beriringan dan saling melengkapi minat dan dunia yang kita geluti, serta meningkatkan keunggulan kompetitif yang kita miliki. Lebih lanjut, kejelian dalam memilih juga berfungsi pula agar investasi finansial yang telah ditanamkan tidak terbuang percuma karena program yang sedang dijalani "terhenti di tengah jalan".