Rabu, 27 Mei 2009

KAJIAN PENYELENGGARAAN AKREDITASI SEKOLAH

Oleh: Totok Sumaryanto F.
Dosen Universitas Negeri Semarang
Abstract
Tujuan diadakannya penelitian/kajian ini adalah untuk menemukan dan
mengembangkan: (1) potensi dan permasalahan penyelenggaraan pendidikan
dasar, (2) efektifitas komponen-komponen instrumen akreditasi sekolah
pendidikan dasar yang selama ini digunakan, dan (3) model penyelenggaraan
akreditasi pendidikan dasar.
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan atau memodifikasi
desain Penelitian dan Pengembangan (Educational Research & Development)
yang menurut Borg & Gall (1983: 775-776) dibagi ke dalam 7 tahapan.
Tahapan Riset & Development (R & D) tersebut adalah: (1) Pengumpulan
informasi dan kajian literatur, (2) Penyusunan desain dan instrumen
penyelenggaraan akreditasi pendidikan dasar, (3) Pengumpulan data
lapangan, (4) Pengalohan dan analisis data, (5) Penyusunan draft laporan, (6)
Seminar laporan, dan (7) Penyusunan laporan akhir. Sumber data penelitian ini
terdiri atas guru SD/MI dan MTs/SMP, kepala sekolah, Komite Sekolah, Badan
Akreditasi Sekolah Propinsi, dan kepala dinas kabupaten/kota di 15 propinsi
se-Indonesia.
Temuan studi ini berupa, pertama potensi dan permasalahan
penyelenggaraan pendidikan dasar, meliputi delapan aspek kajian, yaitu : (1)
kurikulum, (2) proses pembelajaran, (3) kompetensi lulusan, (4) tenaga
pendidik dan tenaga kependidikan, (5) sarana dan prasarana, (6) pengelolaan,
(7) pembiayaan, dan (8) penilaian. Kedua, kondisi dan efektifitas komponen
penyelenggaraan akreditasi pendidikan dasar, meliputi empat komponen, yaitu
(1) Lembaga Penyelenggara Akreditas, (2) Satuan Pendidikan Sasaran
Akreditasi, (3) Instrumen Akreditasi, dan (4) Prosedur Akreditasi. Ketiga,
pengembangan komponen dalam penyelenggaraan akreditasi pendidikan
dasar, empat komponen yang akan dianalisis pengembangannya, yaitu yaitu :
(1) Lembaga Penyelenggara Akreditas, (2) Satuan Pendidikan Sasaran
Akreditasi, (3) Instrumen Akreditasi, dan (4) Prosedur Akreditasi.
Kajian ini merekomendasikan beberapa hal, yaitu: (1) diperlukan sosialiasai
peraturan menteri tentang standar isi, sehingga sekolah-sekolah dapat siap
untuk diakreditasi, (2) sekolah perlu meningkatkan kinerja, (3) supervisi kelas
harus mendapat perhatian baik kualitas maupun kuantitasnya karena ini
merupakan bagian dari penjaminan mutu pendidikan, (4) sesuai dengan prinsip
acuan dalam melaksanakan akreditasi sekolah, terkait kemandirian, maka
kewenangan akreditasi sekolah berada pada lembaga eksternal dan
independen di luar sekolah,(5) evaluasi diri perlu disiapkan oleh sekolah
dengan membentuk gugus penjamin mutu internal, (6) tim asesor adalah
tenaga profesional yang tidak berstatus pejabat struktural dan bukan anggota
Badan Akreditasi Propinsi (BAP), (7) tim asesor ditetapkan melalui proses
sertifikasi asesor, dan (8) perlu dibangun jaringan komunikasi, untuk dapat
saling berkomunikasi dengan sekolah lain dan BAP-S/M
.
Kata Kunci: Akreditasi; pendidikan dasar; penyelenggaraan.
2
PENDAHULUAN
Kompetensi lulusan pada semua jenjang pendidikan merupakan topik
yang tidak akan pernah habis untuk dibahas. Berbagai upaya untuk
meningkatkan mutu lulusan terutama pada jenjang pendidikan dasar telah
dilakukan, namun lulusan pendidikan dasar masih jauh dari harapan semua
pihak. Hal itu ditandai dengan rendahnya daya saing lulusan pendidikan di
Indonesia dalam kaitannya dengan produktivitas tenaga kerja, lulusan
pendidikan di Indonesia berada pada peringkat 12 dari 12 negara yang
disurvei (PERC, 2001).
Salah satu upaya untuk meningkatkan mutu lulusan pendidikan dasar,
Menteri Pendidikan Nasional mengeluarkan keputusan No. 087/U/2002
tentang Akreditasi Sekolah. Keputusan tersebut kemudian diperkuat dengan
UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang kemudian
dijabarkan dalam PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
(SNP) yang lahir kemudian. Keputusan Mendiknas di atas dengan tegas
menunjuk seluruh sekolah agar diakreditasi, baik sekolah negeri atau swasta.
Hal ini merupakan kemajuan yang luar biasa karena sebelumnya Ditjen
Dikdasmen melalui keputusan Dirjen No. 020/C/Kep/1/1983 menyebutkan
akrditasi hanya diberlakukan untuk sekolah swata.
Akuntabilitas lembaga penyelenggara pendidikan pada jenjang
pendidikan dasar dapat diketahui dari peringkat akreditasi yang dimiliki
sekolah, hal ini sesuai dengan ayat 2 pasal 60 UU No. 20 tahun 2003 yang
menyatakan bahwa akreditasi terhadap program dan satuan pendidikan
dilakukan pemerintah dan/lembaga mandiri yang berwenang sebagai bentuk
akuntabilitas publik. Peringkat akreditasi tersebut harus benar-benar
menggambarkan kualitas sekolah sehingga masyarakat memperoleh
gambaran yang jelas tentang kualitas sekolah. Mengingat pentingnya
akreditasi baik bagi sekolah maupun masyarakat, perlu dilakukan studi tentang
pengembangan model penyelenggaraan akreditasi pada pendidikan dasar.
Mengacu pada rumusan masalah di atas, tujuan diadakannya
penelitian/studi ini adalah untuk menemukan dan mengembangkan: (1)
potensi dan permasalahan penyelenggaraan pendidikan dasar, (2) efektifitas
3
komponen-komponen instrumen akreditasi sekolah pendidikan dasar yang
selama ini digunakan, dan (3) model penyelenggaraan akreditasi pendidikan
dasar.
Akreditasi adalah suatu kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh suatu
badan yang disebut Badan Akreditasi Nasional (BAN) untuk mengakreditasi
atau menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan. Akreditasi
dilakukan sebagai bentuk pertanggungjawaban secara obyektif, adil,
transparan dan komprehensif oleh satuan pendidikan kepada publik.
Akreditasi dilakukan agar penyelenggaraan pendidikan pada semua
lingkup mengacu pada Standar Nasional Pendidikan, pemerintah membentuk
Badan Akreditasi Nasional (BAN) yang namanya dibedakan menurut satuan,
jalur dan jenjang pendidikan. Program atau satuan pendidikan pada jalur
formal pada jenjang pendidikan dasar dan menengah diakreditasi oleh BANS/
M (Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasyah) yang pada tingkat
propinsi dibentuk oleh gubernur.
Salah satu program pemerintah yang sedang dilaksanakan sekarang
adalah meningkatkan mutu pendidikan secara nasional. Peningkatan mutu di
setiap satuan pendidikan, diarahkan pada upaya terselenggaranya layanan
pendidikan kepada pihak yang berkepentingan atau masyarakat.
Upaya yang terus menerus dilakukan dan berkesinambungan
diharapkan dapat memberikan layanan pendidikan bermutu dan berkualitas,
yang dapat menjamin bahwa proses penyelenggaraan pendidikan di sekolah
sudah sesuai harapan dan yang seharusnya terjadi. Dengan demikian,
peningkatan mutu pada setiap sekolah sebagai satuan pendidikan diharapkan
dapat meningkatkan mutu sumber daya manusia secara nasional.
Akreditasi sekolah yang sebenarnya mempunyai pengertian sebagai
proses penilaian secara komprehensif terhadap kelayakan dan kinerja
lembaga atau suatu program pendidikan dilakukan sebagai bentuk
akuntabilitas publik, alat regulasi diri (self regulation) di mana sekolah
mengenal kekuatan dan kelemahan serta terus menerus meningkatkan
kekuatan dan memperbaiki kelemahannya. Pengertian ini akan lebih
4
memberikan makna dalam hasil sebagai suatu pengakuan, suatu sekolah
telah memenuhi standar kelayakan yang ditentukan.
UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, perlu
dilakukan pengembangan sekaligus membangun sistem pengendalian mutu
pendidikan melalui empat program yang terintegrasi, yaitu standarisasi,
evaluasi, akreditasi dan sertifikasi. Standarisasi pendidikan mempunyai makna
sebagai upaya penyamaan arah pendidikan secara nasional yang memiliki
keleluasan dan keluwesan dalam implementasinya. Evaluasi merupakan suatu
proses kontinu dalam memperoleh data maupun informasi guna pengambilan
suatu keputusan. Akreditasi merupakan suatu pengakuan terhadap kinerja
sekolah yang diwujudkan dengan adanya sertifikasi yang dikeluarkan suatu
lembaga mandiri dan profesional.
Mengingat yang diakreditasi adalah sekolah yang merupakan sistem
dari berbagai komponen dan saling terkait dalam pencapaian komponen
sekolah, maka sesuai Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor
087/V/2002 tanggal 14 Juni 2004 tentang Akreditasi Sekolah, komponen
sekolah yang menjadi bahan penilaian adalah yang dikembangkan dari
kualitas sekolah yaitu kurikulum dan proses belajar mengajar, manajemen
sekolah, organisasi/kelembagaan sekolah, sarana dan prasarana,
ketenagaan, pembiayaan, peserta didik, peran serta masyarakat dan
lingkungan/kultur sekolah.
Setiap komponen terdiri atas berbagai aspek dan indikator. Kurikulum
dan proses belajar mengajar 40 indikator utama (IU) dan 15 indikator
tambahan (IT), administrasi/manajeman sekolah 15 IU dan 15 IT,
organisasi/kelembagaan sekolah 5 IU dan 5 IT, sarana dan prasarana 10 IU
dan 10 IT, ketenagaan, pembiayaan 10 IU dan 5 IT, peserta didik 10 IU dan 5
IT, peran serta masyarakat 10 IU dan 5 IT, peran serta masyarakat 5 IU dan 5
IT, lingkungan/kultur sekolah 10 IU dan 5 IT. Jika dijumlahkan, maka terdiri
atas 115 IU dan 70 IT.
Semua indikator itu merupakan butir dari instrumen evaluasi diri yang
harus dijawab sekolah untuk menunjukkan, sekolah siap diakreditasi.
Selanjutnya sekolah mengajukan permohonan pada BAS propinsi untuk SMA,
5
dan BAS kabupaten/kota untuk TK, SD dan SMP serta SMK ke BAS pusat.
Untuk sekolah yang belum siap, berdasarkan self evaluation mereka
memperbaiki kelemahan dan meningkatkan kekuatan yang dimiliki.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan atau memodifikasi
desain Penelitian dan Pengembangan (Educational Research & Development)
yang menurut Borg & Gall (1983: 775-776) dibagi ke dalam 7 tahapan.
Tahapan Riset & Development (R & D) tersebut adalah: (1) Pengumpulan
informasi dan kajian literatur, (2) Penyusunan desain dan instrumen model
penyelenggaraan akreditasi pendidikan dasar, (3) Pengumpulan data
lapangan, (4) Pengalohan dan analisis data, (5) Penyusunan draft laporan, (6)
Seminar laporan, dan (7) Penyusunan laporan akhir.
Sumber data penelitian ini terdiri atas guru SD/MI dan MTS/SMP,
kepala sekolah, Komite Sekolah, Badan Akreditasi Sekolah Propinsi, dan
kepala dinas kabupaten/kota di 15 propinsi se-Indonesia. Kelima belas
propinsi tersebut terdiri dari 4 (empat) propinsi di pulau Jawa, yaitu Banten,
Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah/ DIY, sedangkan 11 propinsi
(sebelas) propinsi di Luar Jawa, yaitu Sumatera Barat, Sumatra Utara,
Kepulauan Riau, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi
Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Bali, NTB.
Dari kelima belas propinsi tersebut, empat propinsi di antaranya
dijadikan sebagai wilayah tryout, data yang didapatkan digunakan untuk
kepentingan uji validitas dan reliabilitas instrumen, yaitu Lampung, Kepulauan
Riau, Bali, dan Jawa Tengah.
Subjek penelitian adalah guru SD/MI dan MTS/SMP, kepala sekolah,
Komite Sekolah, Badan Akreditasi Sekolah Propinsi, dan kepala dinas
kabupaten/kota. Sampel penelitian ditentukan dengan menggunakan teknik
pengambilan sampel bertahap (multistage sampling) dengan tahapan sebagai
berikut:(1) Penentuan guru-guru sebagai sampel dipilih dengan teknik
Purposive sampling berdasarkan pertimbangan populasi terjangkau seperti
telah disebutkan di atas, (2) Penentuan guru di kabupaten/kota dipilih dengan
6
teknik area sampling berdasarkan wilayah yang terdiri dari satu kota dan dua
kabupaten untuk setiap propinsi berdasar pertimbangan pelaksanaan otonomi
daerah.
Pengumpulan data menggunakan metode survei melalui interview/FGD,
kuesioner, observasi lapangan dengan instrumen standar yang dikembangkan
peneliti. Sumber data dari guru SD/MI dan SMP/MTs, Kepala Sekolah, Komite
Sekolah, Badan Akreditasi Sekolah Propinsi, dan kepala dinas kabupaten/kota
di 15 propinsi se-Indonesia, dari septiap propinsi duiambil sampel 1 Kabupaten
dan 1 Kota.
Sesuai dengan karakteristik penelitian yang dilakukan, data yang
dihasilkan dari kuesioner dianalisis menggunakan teknik analisis deskriptif
untuk melihat kecenderungan-kecenderungan yang terjadi. Sedangkan data
yang bersifat kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara dan studi dokumen
dianalisis dengan teknik analisis data kualitatif model interaktif yang secara
simultan terdiri dari tahapan: (1) pengumpulan data, (2) Reduksi data, (3)
penyajian data, dan (4) penarikan kesimpulan/verifikasi. Juga dilakukan
analisis sistem untuk menentukan model penyelenggaraan akreditasi
pendidikan dasar.
Skema teknik analisis data tersebut dapat digambarkan sebagai
berikut ini :
Gambar 3.1 Skema Teknik Analisis Data
(Miles & Huberman dalam terjemahan Rohidi, 1992: 100)
Penyajian Data
Reduksi Data
Pengumpulan
Simpulan/ Verifikasi
Verifikasi /Simpulan
7
HASIL PENELITIAN
Potensi dan permasalahan penyelenggaraan pendidikan dasar
Terkait komponen kurikulum: (1) Kurikulum Nasional (KBK/KTSP) telah
dilaksanakan oleh sekolah-sekolah hal ini diakui oleh sebanyak 93,20%
responden, (2) aspek pengembangan perangkat pembelajaran dan perangkat
pendukung RRP belum memperlihatkan adanya penggunaan lebih dari tiga
buku mata pelajaran. Artinya, kekurangan penggunaan buku ini
memperlihatkan masih ada permasalahan dalam penggunaan buku/referensi
untuk pegangan dalam pengembangan perangkat pembelajaran dan
perangkat pendukung RPP. Di sisi siswa, penggunaan buku mata pelajaran ini
pun belum menunjukkan hal yang tidak potensial dalam menyelenggaraan
akreditasi pendidikan dasar. Untuk itu, Penggunaan buku mata pelajaran
sebagai referensi, baik yang dimiliki siswa maupun guru masih belum
potensial untuk dijadikan intrumen dalam penyelenggaraan akreditasi
pendidikan dasar.
Terkait komponen Proses pembelajaran: (1) Kehadiran guru belum
mencapai 100,00% dalam belajar mengajar di pendidikan dasar. Peran guru
sangat penting, sehingga ketidakhadiran guru menyebabkan proses
pembelajaran menjadi terganggu. Untuk itu, mengenai kehadiran ini
menjadikan masalah dalam pelaksanaan akreditasi pendidikan dasar. Di sisi
lain penyelenggaraan akreditasi pendidikan dasar juga mengalami masalah
pada pengelolaan kelas oleh guru. Masalah ini disebabkan masih terjadinya
guru yang duduk tetap di dalam kelas. Kondisi Itu pun diperparah dengan
kurangnya pemanfaatan alat peraga dalam proses belajar mengajar.
Sedangkan dilihat dari kepemilikan RPP oleh guru dan kehadiran siswa terlihat
masih berpotensi untuk dijadikan bahan penyelenggaraan akreditasi
pendidikan dasar. (2) Metode pembelajaran yang digunakan guru dalam
proses pembelajaran dapat dikatakan sangat variatif dengan strategi
pembelajaran yang telah ada. Dari keadaan ini pada metode pembelajaran,
akreditasi pendidikan dasar ini tampak masih potensial. (3) Intensitas
penggunaan media masih bersifat kadang-kadang. Bahkan dari kelengkapan
media yang dimiliki oleh pendidikan dasar juga masih dikatakan kurang
8
lengkap. Dilihat dari kondisi ini komponen proses relajar mengajar ini dapat
dikatakan ada masalah yang terletak pada pada penggunaan media
pembelajaran maupun ketersediaan kelengkapan media pembelajaran. (4)
Masih terjadinya masalah dalam implentasi pembelajaran kontektual (CTL).
Permasalahan ini diperoleh dari data yang masih memperlihatkan kurangnya
guru semua mata pelajaran yang mengembangkan program CTL dan diikuti
dengan minimnya guru yang mengikuti penataran pembelajaran CTL.
Komponen Kompetensi Lulusan: (1) standar kelulusan sekolah maupun
ketuntasan belajar menunjukkan potensi untuk diselenggarakan akreditasi
pendidikan dasar tidak ada masalah yang dirasakan oleh pendidikan dasar. (2)
Kondisi siswa: tidak ada permasalahan pada segi kondisi siswa yakni pada sisi
rasio guru tetap dengan siswa dan jumlah siswa per rombongan belajar.
Keduanya aspek dalam aspek kondisi ini menunjukkan potensi dalam
penyelenggaraan pendidikan dasar. (3) Umumnya sekolah yang memiliki
prestasi akademik baik relatif sedikit, demikian pula sekolah-sekolah yang
memiliki p[restasi non akademik tidak lebih dari 25% sekolah.
Komponen Tenaga Pendidik dan tenaga kependidikan: (1) masih ada
guru yang belum memenuhi kualifikasi sebagai pendidik pendidikan dasar,
masih ada yang belum Sarjana S1 dan Sarjana/Diploma non kependidikan
yang mengajar pada pendidikan dasar. (2) belum semua sekolah memiliki
tenag pustakawan, laboran IPA, laboran komputer, dan tata usaha, terutama
pada Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah.
Komponen sarana dan prasarana menunjukkan bahwa ruang kelas,
ruang Kepala Sekolah, ruang guru, perpustakaan, kamar kecil, ruang UKS,
tempat ibadah, kantin, dan fasilitas telekomunikasi sudah memadai dan
potensial tetapi untuk laboratorium, workshop, ruang bimbingan konseling,
ruang OSIS, hall (aula) dan ruang koperasi masih menghadapi permasalahan.
Khusus laboratorium dan workshop yang merupakan jantung sekolah dan
proses belajar mengajar maka harus dibenahi dan harus tersedia karena di
dua tempat itu sebagai tempat pengembangan ilmu, dan siswa dihadapkan
pada permasalahan secara nyata sehingga siswa akan cepat dan mudah
dalam pembelajaran.
9
Komponen Pengelolaan: (1) Belum seluruh sekolah melipabtakan unsur
masyarakat dan orangtua peserta didik dalam menyusun Rencana Anggaran
Pendapatan Belanja Sekolah (RAPBS), (2) tingkat keterlaksanaan program,
keterlibatan guru dan komite sekolah dalam implementasi program,
keterbukaan sekolah dalam hal keuangan dan program/hasil,
pertanggungjawaban sekolah dalam hal keuangan masih menghadapi
permasalahan, (3) Supervisi sekolah masih menjadi permasalah di dunia
pendidikan karena masih banyak guru tampil di kelas yang tidak pernah
disupervisi oleh Kepala Sekolah maupun tim khusus yang ditunjuk oleh Kepala
sekolah maupun pengawas mata pelajaran, (4) Kerjasama pimpinan sekolah
dengan warga sekolah lumayan bagus mencapai 50% ini potensial sekali
untuk dikembangkan karena dengan kerjasama segala masalah dapat
terpecahkan, namun untuk tingkat keterbukaan pimpinan sekolah dengan
warga sekolah menjadi permasalahan karena yang sangat baik
keterbukaannya baru 47,50%.
Komponen Pembiayaan: (1) Sumber pendanaan terbesar dari
pemerintah khususnya pemerintah Kabupaten/Kota bagi sekolah negeri
sedang sekolah swasta berasal dari masyarakat khususnya orangtua siswa.
Sekolah masih mengalami kesulitan dalam menggali dana dari dunia usaha
maupun dunia industri. (2) Sekolah di Indonesia sudah komitmen terhadap
mutu hal ini nampak dari alokasi anggaran untuk pencapaian komponen isi,
tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, proses, sarana pendidikan, kualitas
lulusan, pengelolaan, penggalian sumber dana, dan penilaian, telah
dialokasikan dengan cukup proporsional. (3) Permasalahan yang dihadapi
dalam pertanggungjawaban penggunaan dana adalah keterbukaan
(transparency) karena yang sangat transparan baru mencapai 23,70% untuk
itu uang adalah milik negara, masyarakat, dan orangtua maka
pertanggugjawabannya harusnya disampiakan kepada seluruh pemangku
kepentingan tersebut.
Komponen Penilaian: (1) pada umumnya guru telah siap melaksanakan
penilaian dan mengadministrasikan hasil penilaian tetapi untuk
pengembangan kegiatan belajar mengajar yang siap mengembangkan semua
10
mata pelajaran baru mencapai 54,20% maka dari itu ke depan hal ini perlu
dibenahi dan diperbaiki karena urusan pokok (core bussiness) sekolah adalah
proses belajar mengajar. (2) Potensi yang perlu dihargai dan membanggakan
adalah guru-guru di pendidikan dasar ternyata sudah banyak menggunakan
variasi model penilaian (66,90%), dengan kata lain tidak hanya tes tertulis saja
tetapi juga sudah menggunakan pengamatan, unjuk kerja, dan portofolio tetapi
masih bersifat monoton karena frekuensi pembahasan masih sangat terbatas
baru 2 sampai 3 kali pembahasan setiap semester per mata pelajaran.
Efektivitas Komponen Instrumen Akreditasi Pendidikan Dasar
Perangkat akreditasi sekolah pendidikan dasar meliputi komponenkomponen:
(1) kurikulum dan pembelajaran, (2) administrasi dan manajemen
sekolah, (3) organisasi kelembagaan, (4) sarana dan prasarana, (5)
ketenagaan, (6) pembiayaan, (7) peserta didik, (8) peran serta masyarakat,
dan (9) lingkungan budaya sekolah. Secara umum mendapatkan penilaian
responden efektif dan bahkan sangat efektif untuk dijadikan sebagai alat ukur
sehingga dapat mengungkap komponen-komponen akreditasi sekolah
sekolah/madrasah.
Kesiapan dan Pengembangan Model Penyelenggaraan Akreditasi
Pendidikan Dasar
Semua sekolah yang menjadi responden dalam studi ini menyatakan
kesiapannya dalam menghadapi akreditasi sekolah. Akreditasi sekolah baik
terhadap kelayakan maupun kinerja, dilakukan sebagai bentuk akuntabilitas
publik yang dilakukan oleh suatu lembaga yang mandiri dan profesional.
Sebagai implikasinya, hanya sekolah yang terakreditasi yang berhak
mengeluarkan ijazah atau sertifikat kelulusan.
Mekanisme Penyelenggaraan Akreditasi Pendidikan Dasar
Sesuai dengan UU Nomor 20/2003 tentang sisdiknas pasal 60 ayat 1
dan 2 bahwa akreditasi dilakukan untuk menentukan kelayakan program
dan/atau satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan non-formal pada
setiap jenjang dan jenis pendidikan. Akreditasi terhadap program dan satuan
11
pendidikan dilakukan oleh pemerintah dan/atau lembaga mandiri yang
berwenang sebagai bentuk akuntabilitas publik. Akreditasi dilakukan dalam
rangka menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan nasional, yang saling
terkait antara evaluasi diri, standarisasi, akreditasi, dan sertifikai.
Adapun struktur hubungan kerja akreditasi Sekolah/Madrasah adalah
seperti digambarkan berikut ini.
Gambar 2. Struktur hubungan kerja akreditasi S/M
Akreditasi dilakukan terhadap sekolah yang menyatakan siap melalui
evaluasi diri dan mengajukan permohonan akreditasi kepada BAP S/M.
Secara umum mekanisme dan prosedur akreditasi sekolah, baik yang
dilakukan oleh BA Provinsi maupun Unit pelaksana teknis BA Kabupaten/Kota,
sesuai dengan kewenangannya, adalah seperti tampak pada bagan berikut ini:
MENAG
DITJEN
PENDAIS
KANWIL
DEPAG
KANDEP
MADRASAH
MENDIKNAS
GUBERNUR
BUPATI/
WALIKOTA
DITJEN
MANDIKDASMEN
DITJEN
PMPTK
BALITBANG BAN-S/M
DISDIK
PROV
DISDIK
KAB/KOT
SEKOLAH
LPMP BAP-S/M
Unit Pelaksana
Sekretariat BAP-S/M
KAB/KOTA
BSNP
12
Gambar 3. Mekanisme dan prosedur akreditasi sekolah
Model Alternatif Penyelenggaraan Akreditasi Pendidikan Dasar
Berdasarkan model penyelenggaraan akreditasi yang sudah berjalan,
penyelenggaraan akreditasi yang diharapkan, serta kendala-kendala yang
dihadapi dalam penyelenggaraaan akreditasi, dapat disusun alternatif model
akreditasi pendidikan dasar seperti gambar 4.
Beberapa tahapan yang penting dalam model alternatif ini adalah pada
tahap evaluasi diri/penilaian BAN-S/M (di tingkat propinsi BAP-S/M): (1)
sekolah memenuhi syarat untuk akreditasi dan mendapat rekomendasi dari
Dinas Pendidikan Terkait yang sebelumnya telah dilakukan audit internal
gugus penjamin mutu di tingkat sekolah, (2) sekolah mengajukan permohonan
kepada BAN-S/M untuk melakukan proses akreditasi dengan mengisi
instrumen evaluasi diri BAN-S/M dan mengembalikannya ke BAN-S/M, (3)
selanjutnya dilakukan penilaian Evaluasi Diri oleh BAN-S/M, (4) Bila nilai
Evaluasi Diri kurang dari 56 maka sekolah yang bersangkutan tidak layak
untuk di visitasi. Dengan demikian proses akreditasi tidak dilanjutkan. Dalam
keadaan seperti ini maka peran pengawas sekolah untuk mengadakan
Pelaksanaan Evaluasi
Diri oleh Sekolah
Pengajuan Akreditasi
oleh Sekolah
Penentuan Kelayakan
Visitasi oleh BAN-S/M
Layak
Pelaksanaan Visitasi
oleh Tim Asesor
Penetapan Hasil
Akreditasi oleh BAN-S/M
Terakreditasi
Penertiban Hasil
Akreditasi oleh BAN-S/M
Perbaikan Internal
oleh Sekolah
Tidak
Tidak
Ya
Ya
13
pembinaan baik terkait manajerial maupun akademik sangat besar. Jika nilai
Evaluasi Diri lebih dari atau sama dengan 56 sekolah yang bersangkutan
layak untuk diadakan visitasi.
Gambar 4. Pengembangan Model Penyelenggaraan Akreditasi Pendidikan
Dasar
Pada tahap visitasi dan rapat pleno BAN-S/M: (1) BAN-S/M membentuk
dan menugaskan Tim asesor untuk melakukan visitasi ke sekolah (2-3 orang/
2-5 hari/ sesuai kebutuhan), (2) Tim asesor mengunjungi sekolah untuk
verifikasi dan validasi data/informasi evaluasi diri, kemudian melakukan
klarifikasi temuan dengan kepala sekolah/tim responden, (3) Tim asesor
membuat laporan individual dan laporan TIM untuk kemudian diserahkan ke
Pelaksanaan Evaluasi
Diri oleh Sekolah
Pengajuan Akreditasi
oleh Sekolah
Penentuan Kelayakan
Visitasi oleh BAN-S/M
Layak
Pelaksanaan Visitasi
oleh Tim Asesor
Penetapan Hasil Akreditasi oleh
Visitasi oleh BAN-S/M
Terakreditasi
Penertiban Hasil Akreditasi
oleh BAN-S/M
Perbaikan Internal
oleh Sekolah
Tidak
Pembinaan oleh
Pengawas Sekolah
menyangkut manajerial
dan akademik
Tidak
Ya
Ya
Audit Internal
Gugus
Penjamin Mutu
Sekolah
14
BAN-S/M, dan (4) rapat pleno BAN-S/M untuk menentukan hasil akreditasi dan
menerbitkan Surat Kuputusan BAN-S/M. Jika tidak terakreditasi maka kembali
peran dan pembinaan Pengawas Sekolah sangat dibutuhkan dalam
melengkapi kembali komponen-komponen akreditasi yang masing kurang dan
menyusun kembali Evaluasi Diri sekolah. Selanjutnya dapat mengajukan
kembali untuk akreditasi pada tahun berikutnya.
REKOMENDASI
Berdasar hasil penelitian dapat dirumuskan rekomendasi sebagai
berikut: (1) Diperlukan sosialiasai peraturan menteri tentang standar isi,
sehingga sekolah-sekolah dapat siap untuk diakreditasi, (2) Sekolah perlu
memperoleh perhatian dan perbaikan apalagi ini menyangkut kinerja sekolah
yaitu kinerja manajemen dan kinerja keuangan dan transparansi manajemen
keuangannya, (3) Supervisi kelas harus mendapat perhatian baik kualitas
maupun kuantitasnya karena ini merupakan bagian dari penjaminan mutu
pendidikan, (4) Sesuai dengan prinsip acuan dalam melaksanakan akreditasi
sekolah, terkait kemandirian, maka kewenangan akreditasi sekolah berada
pada lembaga eksternal dan independen di luar sekolah, (5) Evaluasi diri perlu
disiapkan oleh sekolah dengan membentuk gugus penjamin mutu internal
dengan melakukan evaluasi diri berkelanjutan, tiap semester. Kedudukannya
di atas supervisi dan dikoordinasikan oleh Kepala Sekolah, (6) BAN-S/M
sebagai lembaga independen maka pelaksananya harus orang independen,
agar menggambarkan keadaan sekolah yang benar-benar menunjukkan
kinerja untuk melaksanakan pendidikan bagi masyarakat, (7) Tim asesor
adalah tenaga profesional yang tidak berstatus pejabat struktural dan bukan
anggota Badan Akreditasi Propinsi (BAP), (8) Tim asesor ditetapkan melalui
proses sertifikasi asesor, (9) Perlu dibangun jaringan komunikasi, untuk dapat
saling berkomunikasi dengan sekolah lain dan BAP-S/M.
15
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Maswardi M. BSNP, Akreditasi, Sertifikasi, dan Penjaminan Mutu.
Dalam Pontianak Post, Selasa, 24 Januari 2006
Balitbang, Depdiknas. 2000. Statistik Pendidikan. Jakarta: Balitbang
Depdiknas.
Chamidi, Safrudin Ismi. 2004. “Peningkatan Mutu Pendidikan melalui
Manajemen Berbasis Sekolah”, dalam Isu-isu Pendidikan di
Indonesia: Lima Isu Pendidikan Triwulan Kedua. Pusat Data dan
Informasi Pendidikan, Balitbang Depdiknas.
Scheerens, J. 1992. Effective Schoolling: Research Theory and Practice.
London Willer House : Cassel
Suryadi, Ace dan Dasim Budimansyah. 2004. Pendidikan Nasional Menuju
Masyarakat Masa Depan. Jakarta: Genesindo.
Umaedi. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah : sebuah
pendekatan baru dalam pengelolaan sekolah untuk peningkatan mutu.
Direktur Pendidikan Menengah Umum Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pendidikan Menengah Umum, April 1999.
Yadi Mulyadi. Demokratisasi Pendidikan (Kajian Pada Jenjang Pendidikan
Dasar) dalam HTUhttp://www.ekofeum.or.id/artikel.php?cid=48UTH (30 April
2007)
Zamroni. 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf
Publishing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar